Part 15

14.7K 802 6
                                    

Perkataannya barusan membuat hatiku terasa ngilu dan perutku seperti di remas. Sejujurnya sejauh inipun aku tidak yakin apakah Christ mencintaiku. Ciuman bukan berarti orang itu mencintaiku kan?

Aku sendiri bingung harus menjawab apa. Aku hanya ingin memiliki mereka berdua tapi aku tak tahu apakah aku mencintai Ryan. Sedangkan aku sudah menanti Christ dan mengingatnya selama dua tahun terakhir. Tapi apa gunanya penantianku kalau Christ sendiri tidak mengharapkanku.

"Biarkan aku berpikir. Ryan, kita baru bertemu beberapa hari dan semua ini sudah menjadi rumit begini. Tidakkah agak aneh kalau kau bilang mencintaiku?" tanyaku padanya.

"Tidak ada yang aneh. Kau sendiri mencintai lelaki itu yang baru kau temui dalam sehari" perkataannya menusuk hatiku dalam-dalam. Aku memang tak pantas memihaknya. Terlebih karena aku sendiri langsung jatuh cinta sehari setelah bertemu dengan Christ.

Aku terdiam untuk waktu yang cukup lama. Aku bingung harus mengatakan apa. Christ juga hanya menonton perdebatan kami--- yang membuatku merasa lebih kecewa. Tidakkah seharusnya dia melerai atau apa?

"Lalu, aku bisa apa?" tanganku bergetar, bimbang sendiri dengan perasaanku. Aku ingin memiliki mereka berdua, itulah yang selalu terlintas. Tapi aku kan tidak bisa serakah begitu.

"Apa tepatnya yang kau rasakan padaku?" tanyanya padaku. Dia nampak tak pantang menyerah walaupun aku hampir menangis.

Jika ditanya begitu, aku sendiri juga bingung dengan perasaanku padanya. Aku mencintai Christ tapi disaat bersamaan aku juga mencintai Ryan--- kuakui itu. Hanya saja saat ini, aku sedang tak ingin terlibat lebih jauh dengan Ryan. Dia lelaki yang baik--- kuakui--- tapi aku tak mau suatu saat dia juga akan menghilang seperti Dad, karena kehadirannya saja terasa tidak nyata bagiku.

Aku mencintainya dan aku rindu Christ. Aku ingin memiliki mereka berdua.

"Aku tak tahu. Tolong, kita lupakan masalah ini untuk sementara waktu dan kembali pulang" aku kembali menggenggam tangannya, berusaha menariknya tapi tak kuat. Terlalu banyak media untuk membicarakan hal privasi ini.

"Baiklah" Ryan menghela napas menyerah "Tapi aku tak mau ada sedikit pun nama dia yang keluar dari mulutmu" dia berbalik memelototi Christ yang dengan santainya meminum Champagne nya.

"Ya" jawabku pasrah. Mungkin aku bisa menyebut ini sebagai kesempatan supaya aku bisa berpikir lebih luas. Tapi saat ini prioritas utamaku adalah Darrel.

Aku akan menjawab pertanyaan Ryan dengan lebih pasti setelah aku menemukan Ibunya Darrel. Dan keputusan itu tidak dapat diganggu gugat.

Keadaan begitu kami menaiki mobil Ryan sangatlah tidak enak. Tidak ada yang berani bicara satu kata pun--- kecuali Darrel yang terus merengek meminta susunya.

Aku sendiri bingung harus membicarakan apa setelah perdebatan kami yang memalukan di depan umum. Tak mungkin kan kau melemparkan lelucon semenit setelah bertengkar dengan adik atau orang tua? Jadi mungkin diam adalah cara yang lebih baik.

Selama kami masing-masing saling diam, aku berusaha untuk menyibukkan diriku dengan berusaha mendiamkan Darrel yang sedang menangis meminta susu. Aku lupa membawa tas bayinya karena terburu-buru dan yang kupunya sekarang adalah dot bayinya yang terus-terusan dilemparkannya.

"Kalau dia meminta susu, berikan saja lewat itumu" Ryan mulai membuka mulutnya. Bukannya merasa lega karena akhirnya ada yang memulai pembicaraan, aku malah merasa kesal.

"Maksudmu?" aku yakin dia dapat mendengar sebuah nada teguran lewat perkataanku barusan.

"Aku tidak bermaksud jahat, aku hanya mencoba membantu. Lagipula aku takkan melihat karena sedang menyetir" memang benar sih. Tapi kan dia bisa mengintip. Lagipula, apa dia bodoh?

"Aku kan belum punya, bodoh" aku mengakuinya dengan malu-malu.

"Ya sudah" Ryan mengangkat bahunya dan terus fokus pada jalan.

Kemudian keadaan mulai hening kembali--- kecuali Darrel yang terus-terusan merengek dan memberontak. Aku penasaran apakah seharusnya aku mengatakan yang sebenarnya saja sekarang untuk meredakan sakit hatinya? Tapi aku tak punya cukup keberanian untuk mengatakannya!

Aku mulai membetulkan posisi tidur Darrel kemudian menepuk-nepuk pantatnya agar dia terlelap. Atau setidaknya diam.

"Kau tahu, kurasa aku mau mengatakan yang sebenarnya saja sekarang" mulaiku ragu-ragu. Mobil yang dia kendarai mulai oleng sedikit, kemudian Ryan menoleh kearahku.

"Apa?" aku bisa menangkap rasa penasaran dan tak sabar lewat suaranya. Itu dia bisa menoleh, untung saja aku tak menyusui Darrel.

"Kuharap hal ini bisa membuatmu cukup senang" mulaiku lagi kemudian melanjutkan "Aku ingin memiliki kau dan juga Christ, aku ingin kalian berdua menjadi milikku. Tapi, hal itu kan serakah jadi, aku memilih Christ"

Ryan yang masih kaget dengan pengakuanku mengerutkan keningnya.

"Kenapa kau memilih dia? Apa karena dialah yang pertama kali bertemu denganmu?" duganya.

"Bukan, tapi karena aku merindukkannya. Aku sudah merindukkannya sejak dua tahun yang lalu dan kurasa, hal itu akan percuma jika tiba-tiba aku meninggalkannya. Apalagi aku penasaran apakah dia mencintaiku atau tidak, terlebih karena dia memanggilku lagi dengan 'Creampuff' " jelasku panjang lebar yang kurasa, malah membuatnya makin bingung.

"Jadi kau juga mencintaiku?" tanyanya dengan matanya yang membelalak dan tak bisa tidak mengalihkan pandangannya dariku.

"Entahlah tapi kurasa ya, sedikit" akuku. Semoga aku tidak mati hari ini karena dia terus saja mengalihkan perhatiannya dari jalanan.

Ryan terdiam, ragu-ragu harus mengatakan apa. Tapi yang kutahu, dia kelihatan cukup bahagia karena ini. Well, syukurlah. Setidaknya aku bisa merasa lega karena tidak merasa bersalah. Dan sebelum aku kehilangan Ryan juga, aku harus mengakuinya.

"Tapi tetap saja, aku akan tetap bersama Christ sampai dia benar-benar menolakku" akuku lagi. Bukannya melihat sebuah raut sedih di wajahnya, aku malah melihat sebuah senyuman licik diwajahnya yang membuatku merinding.

"Oh itu sih mudah" katanya "Laki-laki seperti dia, pasti takkan bertahan lama denganmu yang cerewet begini. Hanya aku yang bisa bertahan denganmu walaupun kau sudah memukulku dengan panci sebanyak seribu kali sekalipun"

Aku hanya dapat termangu menanggapi pernyataannya. Segitu percaya dirinya dia dalam hal ini, seakan-akan tak ada wanita yang akan menolaknya. Memang sih, kurasa takkan ada wanita di dunia ini yang mampu menolaknya. Tapi kan, Christ juga tidak sejelek itu.

"Percaya diri sekali kau. Memangnya kau yakin aku akan meninggalkan Christ setelah dia menolakku? Bisa saja aku terus mengejarnya" aku mengeluarkan wajah menantangku.

"Kalau begitu aku tinggal membuatmu jatuh cinta padaku lebih banyak daripada lelaki itu. Contohnya saja, aku lebih tampan darinya, lebih kaya darinya karena aku seorang model dan punya sebuah perusahaan, dan poin tambahannya, aku hebat di ranjang" dia menaikkan sebelah alisnya dengan tatapan menggoda.

"Kau bilang kau tak pernah tidur dengan wanita yang tak kau sukai!" jeritku karena merasa jijik. Apa dia berbohong?

"Memang, tapi aku sering menonton sejak lama sekali dan semua ilmunya sudah terkumpul disini" dia menunjuk kepalanya "Mau coba?" aku menatapnya horror.

"Tidak terima kasih. Aku sudah punya pasangan di ranjang, bantal" Ryan hanya tertawa sambil kembali memandangi jalanan.

"Tenang saja, Lica ku. Aku akan membuatmu lebih jatuh cinta padaku dalam sekejap. Bahkan tanpa kausadari, kau sudah akan ada diatas ranjangku" Ryan menambahkan lagi dengan sebuah senyuman.

"Coba saja" tantangku.

Kuharap dia memang benar bisa melakukannya. Karena aku berharap, setidaknya aku bisa merasakan cinta yang lebih pasti.

Found The Baby & YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang