22.b

5.1K 248 8
                                    

Update lagi, karena cerita ini sudah masuk peringkat 265 dalam kategori fanfiction. Terimakasih banyak untuk para pembaca setia LAM yang sudah mau meninggalkan jejak berupa vote dan koment. LC senang saat membaca komentar kalian yang sangat antusias akan kelanjutan cerita ini. Semoga kalian tidak bosan untuk selalu memberikan vote dan juga komentar yang lebih gokil lagi.

Sudah cukup cuap-cuapnya. Happy reading, dear 💕

Vanya mengurai pelukannya pada Riddick, lalu menoleh kebelakang mencari keberadaan Malvin. Priya itu tidak ada disana. Apa dia tersesat karena tadi Vanya meninggalkannya begitu saja? Atau lebih tepatnya priya itu pergi setelah tadi menurunkan Vanya didepan pintu rumah sakit?

Entahlah, Vanya terlalu malas untuk memikirkannya.

"Kau mencari suamimu?" Suara Riddick dari balik punggungnya, membawa kesadarannya kembali.

Vanya hanya tersenyum sekilas lalu menganggukan kepalanya. Riddick yang menatap dirinya tampak membalas senyum Vanya seadanya.

"Suamimu tadi keluar lagi. Sepertinya dia salah sangka setelah melihatmu memelukku tadi." Jelas Riddick sedikit menggoda Vanya. Entah kenapa Riddick berkata seperti itu. Padahal dihati kecilnya, dia amat senang saat tadi Vanya memeluknya. Terlebih suami dari sahabatnya itu melihatnya, dan tampak sangat emosi hingga langsung pergi.

Vanya membulatkan mata mendengar penuturan sahabatnya itu. Dia pun langsung mencari ponselnya didalam tas, dan setelahnya dia pun mendial nomer telepon Malvin yang ada diponselnya.

🍃🍃🍃🍃🍃

Malvin memutuskan untuk kembali kedalam mobilnya, dia akan menunggu Vanya disana saja. Entah mengapa pemandangan didalam tadi sungguh memuakkan baginya.

Gadis itu benar-benar tidak tahu malu, bagaimana bisa dia berpelukan dengan priya lain dihadapan suaminya sendiri.

Suami? Astaga Malvin. Kau bahkan tak penah menganggapnya sebagai seorang istri. Lalu untuk apa kau mengharapkan dirinya menganggapmu sebagai suaminya? Jangan pernah bermimpi dan berharap terlalu tinggi! Kau tentu tahu bagaimana hasil akhirnya nanti.

Saat tengah asik dengan pemikirannya sendiri. Kini terdengar suara ponsel yang berbunyi. Malvin mengambil ponselnya yang ada didalam saku, lalu menggeser tombol hijau untuk menjawab panggilannya.

"Hallo."

"Kau dimana? Kenapa tidak masuk?"

"Aku malas. Aku akan menunggumu diparkiran saja. Jika urusanmu sudah selesai, segeralah kemari! Aku sudah sangat lelah dan ingin beristirahat diapartemen saja."

"Kalau begitu pulanglah dahulu! Aku akan pulang menggunakan taxi nanti."

"Tidak akan! Kau tidak ingat jika Kakek menyuruhku untuk menjagamu tadi!"

"Baiklah. Tolong tunggu sebentar sa.."

Malvin langsung saja mematikan sambungan teleponnya, tanpa mendengarkan kata terakhir dari lawan bicara. Dia mengusap wajahnya kasar, lalu kembali menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi kemudi.

Entah kenapa dia jadi emosi. Tingkat kewarasannya seolah berkurang 50% saat melihat Vanya memeluk priya lain tadi. Dia benar-benar tidak mengerti dengan keadaannya sendiri. Dia tidak ingin menamai perasaan ini 'cemburu', karena baginya cemburu hanyalah untuk orang-orang lemah yang terhasut oleh ikatan semu bernama 'cinta'. Dan dia tidak sedang mencintai siapa pun, dia hanya akan perduli dengan kehidupannya sendiri. Tidak untuk cinta, atau pun wanita. Keduanya tidak akan pernah ada dalam kamusnya.

🍃🍃🍃🍃🍃

Vanya kembali menyimpan ponselnya kedalam tas, lalu berjalan mendekati bangkar dimana Key terbaring. Dia mendudukan diri pada kursi yang ada disebalah bangkar tersebut. Menatap wajah pucat Key yang tampak tenang dalam tidurnya. Sepertinya gadis itu tidak akan bangun hari ini. Terlihat dari raut wajahnya yang tampak tenang dan damai saat tertidur seperti ini.

Setelah sepuluh menit berlalu, Vanya pun berdiri dari posisinya dan berjalan kearah Riddick yang sedang duduk disoffa. Dia berpamitan kepada temannya itu, karena tidak ingin membuat suaminya menunggu terlalu lama.

"Aku harus pulang, Riddick. Tolong kamu jaga Key baik-baik ya! Dan jangan lupa untuk memberiku kabar, saat dia bangun nanti!" Pinta Vanya dengan tatapan sendunya.

Riddick yang masih bisa melihat raut kesedihan dan kecemasan diwajah Vanya, mendadak kembali membawa tubuh rapuh gadis itu dalam pelukannya. Dia mengelus punggung Vanya dan berucap, "tenanglah, Vanya. Aku berjanji padamu, akan menjaganya dengan baik. Aku juga ingin melihat ya cepat sembuh dan berkumpul kembali bersama kita." Jelasnya.

Vanya mengurai pelukannya, lalu menatap Riddick dengan senyum yang terkesan dipaksakan. Dia berjalan keluar dari kamar inap Key, lalu menuju tempat dimana mobil Malvin terparkir. Dia mengetuk kaca mobil Malvin, sesaat setelah tadi mencoba membuka pintu mobilnya yang terkunci.

Malvin tersadar dari tidur sekilasnya. Dia mencoba mengembalikan tenaganya, lalu menatap kearak kaca mobilnya. Vanya sudah berdiri disana, dan Malvin pun mulai membukakan pintu mobilnya. Vanya memasuki mobilnya, lalu Malvin mulai menjalankan mobil itu untuk menuju apartementnya.

Suasana didalam mobil ini tampak sunyi, terlebih keheningan malam juga ikut menyelimuti. Vanya dan Malvin masih pada posisi dimana keduanya hanya diam dan saling tak perduli. Butuh waktu sekitar lima belas menit untuk bisa sampai diapatement yang mereka tinggali. Dan setelah sampai, mereka pun memasuki apartemen dengan kondisi yang sudah lelah sekali.

Vanya ingin segera memasuki kamar mereka, namun tubuhnya terhuyung kebelakang saat merasakan adanya seseorang menarik lengannya. Dia menoleh kebelakang, dan mendapati Malvin yang tengah mencekal lengannya.

"Ada apa?" Tanya Vanya lamas.

"Apa yang kau lakukan tadi? Kenapa kau memeluk priya itu?" Tanya Malvin dengan nada meninggi.

"Priya itu? Siapa?" Tanya Vanya menggerutkan alisnya, seolah tak mengerti akan pertanyaan suaminya.

"Jangan sok polos begitu! Priya yang kau peluk dirumah sakit tadi."

"Ohh, dia. Dia Riddick, sahabatku."

"Aku tidak menanyakan namanya, Vanya! Aku ingin mendengar alasanmu, mengapa kau memeluknya tadi." Terdengar adanya emosi dalam setiap kata yang diucapkan oleh Malvin tadi.

Vanya yang menyadari kemarahan suaminya itu, justru merencanakan hal ajaib untuk menggodanya. Dia terlihat menahan tawanya, dengan terus menatap kearah suaminya.

"Kenapa dengan wajahmu itu? Kenapa kau justru terlihat ingin tertawa?" Tanya Malvin jengah akan ekspresi Vanya.

"Tidak. Aku hanya merasa jika saat ini kau sedang cemburu." Jawab Vanya dengan seringainya.

"Cemburu? Untuk apa aku cemburu dengan gadis sepertimu! Kau bahkan tahu jika aku tak sedikit pun memiliki perasaan untukmu!" Tegasnya menatap tajam kearah Vanya. Namun tampaknya yang ditatap hanya menunjukkan ekspresi biasa saja, seolah sudah terbiasa dengan ucapan kasar dan tatap tajam yang membunuh itu.

"Ok, baiklah. Kalau begitu lepaskan aku! Aku ingin segera membersihkan diri, karena tubuhku sudah lengket sekali." Melepaskan cekalan Malvin, lalu berjalan memasuki kamar untuk mandi.

Malvin mengacak rambutnya frustasi. Ucapan Vanya tadi benar-benar membuat emosinya semakin mendidih. Dia memutuskan untuk mengambil air dingin didalam lemari es, lalu mengguyur kepalanya agar bisa kembali berfikir jernih.

TO BE CONTINUED.

Look At Me!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang