18

4.9K 243 10
                                    

Sesuatu yang tampak keras dari luar, tenyata juga memiliki kerapuhan didalamnya.
******

"Kak Vanya, disini!" Teriak seorang gadis berseragam SMA yang kini melambaikan tangan saat melihat Vanya baru saja memasuki sebuah kaffe.

Vanya tersenyum, lalu berjalan kearah meja yang ditempati oleh gadis tersebut.

"Sudah lama menunggu?" Tanyanya setelah mendudukan diri pada kursi disamping gadis tersebut.

"Tidak. Marsha juga baru datang kok." Jawab gadis itu diakhiri senyum.
"Kakak apa kabar? Maaf, Marsha baru bisa ketemu Kakak hari ini. Marsha disibukkan oleh kegiatan sekolah, hingga lupa menghubungi Kakak." Lanjutnya dengan raut wajah bersalah.

"Tak apa, Marsha. Kakak senang kamu mengajak Kakak bertemu hari ini. Ada apa?"

Marsha diam sejenak, lalu dengan menghela nafas panjang dia berucap, "aku hanya sedang mencemaskan Kakak. Apakah Kakak baik-baik saja? Mama bilang sudah hampir seminggu ini Kakak tidak menghubunginya. Apa terjadi sesuatu?"

Vanya kini tampak bingung untuk menjawab seluruh pertanyaan adiknya. Bagaimana pun, ikatan Kakak beradik memanglah kuat. Hingga sebaik apapun Vanya menyembunyikan masalahnya, Marsha nanti pasti akan mengetahuinya.

Vanya hanya diam beberapa saat, seolah sedang merangkai kata untuk memberi jawaban atas pertanyaan adiknya. Namun karena tak kuasa untuk menahan rasa sakit dihatinya, kini tanpa komando air mata itu kembali jatuh membasahi pipinya.

"Kak Vanya, apa yang terjadi? Kenapa Kakak menangis? Apakah ada yang membuat Kakak sedih?" Marsha terlihat panik ketika tiba-tiba saja Vanya menitihkan air mata.
"Kakak, bicaralah! Marsha ada disini untuk Kakak. Kakak bisa menceritakan segala kesedihan Kakak kepada Marsha!" Lanjutnya mengelus bahu Vanya yang mulai bergetar.

Mendengar ucapan adiknya itu, Vanya justru semakin terisak dalam tangisannya. Dia kini menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya untuk meyamarkan isak tangisnya.

Marsha yang tak tega melihat Kakaknya, kini membawa tubuh bergetar Kakaknya kedalam pelukannya. Dia mencoba memberikan ketenangan agar Kakaknya tidak bersedih lagi.

Setelah puas meluapkan air matanya dalam perlukan Marsha. Vanya kini mengurai pelukannya dan menghapus sia-sia air mata diwajahnya. Dia mulai mengatur nafas dan memberanikan diri untuk bercerita.

Vanya menceritakan segala kejadian yang dialaminya setelah menikah dengan Malvin. Dia bahkan juga bercerita mengenai sikap dan ucapan Malvin yang selalu melukai hatinya. Marsha yang mendengar setiap ucapan Kakaknya itu hanya bisa menggelengkan kepala, dan sesekali mengelus bahu Vanya untuk memberinya kekuatan.

"Marsha sudah merasakan sesuatu yang aneh, saat tiba-tiba dia datang kerumah untuk melamar Kakak. Namun karena kepolosan dan kebaikan hati Kakak, Kakak justru menerimanya tanpa berfikir mengenai sikap dan kebaikannya yang hanyalah sebuah topeng. Kakak sudah terjerumus kedalam perangkap yang sudah dibuatnya. Dan dia dengan segalah keangkuhannya, kini memperlakukan Kakak dengan tidak baik seperti ini. Kakak tidak seharusnya diperlakukan seperti ini olehnya. Kakak istrinya, dan sudah seharusnya seorang suami itu memperlakukan istrinya dengan baik."

"Tapi dia tidak mencintaiku, Marsha. Dia tidak menganggap aku istrinya. Status pernikahan kami hanyanya sebuah kepura-puraan yang sudah dia rencanakan dengan begitu baiknya."

"Dia menikahi Kakak 'sah' didepan hukum dan agama. Jadi dia juga memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan memperlakukan Kakak dengan baik, tidak seperti ini!"

"Kakak ti..." Kalimat Vanya terhenti saat tiba-tiba ada seseorang yang memanggil namanya.

"Vanya." Terlihat sesosok wanita paruh baya yang kini sudah berdiri dihadapan mereka.

"Tan.. Tante Maria?"

"Kamu disini, sayang. Bagaimana kabar kamu?" Tanya wanita itu yang kemudian memeluk tubuh Vanya.

"Baik, Tante."

"Jangan panggil Tante, panggil saja Mami! Kamu kan sudah menikah dengan putraku." Jelasnya yang kemudian mendudukan diri dihadapan Vanya.
"Ada apa denganmu, Vanya? Kamu habis menangis?" Bertanya sambil terus menatap Vanya.

Marsha yang sadar akan siapa sosok yang kini ada hadapan mereka, mulai angkat bicara. "Iya. Kakakku menangis karena perlakuan buruk putramu itu!"

Nada bicara Marsha yang sinis membuat Maria dan Vanya menatap kearahnya secara bersamaan. Maria tampak mengerutkan dahi seolah tak mengerti dengan ucapan Marsha.

"Untuk apa putramu itu menikahi Kakakku jika dia sangat membenci sosok wanita dalam hidupnya? Untuk menyiksanya? Untuk menyakitinya dengan segala ucapan dan prilaku kasarnya itu? Apa sebagai seorang Ibu kau tak bisa mengajarinya untuk menghargai sosok seorang istri?" Perkataan Marsha bagaikan sebuah batu besar yang menghujam kehati Maria.

Wanita paruh baya itu kini tampak mentihkan air mata. Ucapan gadis remaja dihadapannya itu berhasil membuatnya kembali dalam kemelut masa lalu. Masa lalu yang membuat kehidupan putranya hancur, dan membuatnya benar-benar kehilangan sosok manis dari ptranya itu.

Marsha menautkan alisnya, saat melihat Maria justru menangis setelah mendengan ucapannya. Dia menatap Vanya dengan raut wajah bersalah dan penuh penyesalan. Dia tidak berniat membuat Ibu mertua dari Kakaknya itu menangis. Sebagai adik, dia hanya ingin melindungi Kakaknya dan memberikan kebahagiaan pada hidup Kakaknya itu. Diusianya yang memang masih terbilang mudah ini, membuatnya sering kali bertindak dan berucap tanpa memikirkan akibatnya. Layaknya gadis-gadis remaja pada umumnya yang tampak labil dengan sikapnya.

"Maaf, Tante." Ucap Marsha lirih dengan wajah penuh penyesalan.

Maria menghapus sisa air matanya, lalu tersenyum kearah Marsha. "Kamu tidak perlu minta maaf! Ini memang salah saya. Saya tidak bisa menjadi sosok Ibu yang baik untuk Malvin. Saya melakukan kesalahan dengan jatuh cinta kepada priya lain, hingga saya tega meninggalkan suami dan anak saya demi keegoisan saya sendiri. Malvin adalah korban, dan saya lah yang sudah membuat dirinya seperti ini. Jangan pernah menyalahkan Malvin, Vanya. Malvin bertindak seperti itu karena dia ingin melindungi dirinya sendiri. Dia membentengi dirinya sendiri dari setiap sosok wanita yang mendekatinya. Dia pernah jatuh cinta, namun wanita yang dicintainya itu justru menjatuhkannya kedalam jurang yang terdalam. Dia kembali merasakan sakit karena keegoisan seorang wanita, dan itu membuatnya semakin membenci sosok wanita." Jeda sejenak untuk menghela nafas dan menghapus beberapa butiran bening yang kembali membasahi pipinya.

"Jangan pernah tinggalkan Malvin, Vanya! Mami merasa jika kamu bisa membawa kebahagiaan baru untuknya. Dia sudah terlalu lama menderita dalam hidupnya. Dia membutuhkan sosok wanita sepertimu yang bisa mengajarinya akan arti sebuah cinta dan kasih sayang. Mami tau kamu sangat terlukan akan ulahnya, namun itu benar-benar bukan salahnya Vanya! Semua ini salah Mami, Mami yang bersalah." Kembali terisak diakhir kalimatnya.

Vanya yang tak tega melihat Ibu mertuanya itu, kini mulai menggengam erat tangan rapuh yang ada dihadapannya. Kini dia tahu semua kebenarannya. Teka-teki yang selama ini dicarinya, mulai menemukam titik terang.

Vanya menghelana nafas berat, lalu berucap kepada Ibu mertuanya itu, "Vanya tidak akan meninggalkan Malvin, Mami. Vanya berjanji akan selalu berada disampingnya dan memberinya kebahagiaan serta kasih sayang yang tak pernah dia dapatkan. Vanya janji." Terdengan nada ketulusan disetiap ucapan Vanya.

Maria mulai tersenyum, lalu membalas genggaman tangan Vanya pada tangan rapuhnya. Dia merasa bersyukur memiliki menantu yang baik dan lembut seperti Vanya. Dia yakin jika suatu saat nanti Malvin akan merasa bahagia dan beruntung memiliki Vanya dalam hidupnya.

To Be Continued.
Update lagi, jangan lupa vote dan komentnya! 😊

Jangan membenci Malvin karena sikapnya yang buruk, dia punya alasan dalam setiap tindakannya itu.

Bukankah setiap apa yang kita perbuat, memiliki sebuah alasan?

Malvin pun sama. Dia juga manusia biasa yang punya amarah dalam dirinya 😊

Ketemu besok lagi kalau sempet update.
See you 💕💕

Look At Me!Where stories live. Discover now