21

5K 246 7
                                    

Rasa simpati adalah awal dari tumbuhnya perasaan dihati.
******

"Baiklah, aku akan segera kesana." Menyambar tas kerjanya, lalu berjalan cepat meninggalkan meja kerjannya dan memasuki lift dengan terburu-buru.

Vanya memberhentikan sebuah taxi, lalu memasukinya. "Rumah sakit Cipta Medika." Ucapnya kepada supir taxi yang duduk dibalik kemudi.

Tak butuh banyak waktu, taxi yang ditumpanginya pun kini sudah melaju menuju tempat yang ingin dikunjunginya itu. Vanya sedikit panik setelah menerima telepon dari seseorang tadi, dia duduk cemas sambil meremas kedua telapak tangannya yang tergenggam. Entah siapa yang menghubunginya tadi, hingga membuat hati dan pikirannya kacau sekali.

Taxi yang ditumpanginya sudah berhenti, Vanya pun segera keluar dari dalam taxi setelah memberikan selembar uang seratus ribuan kepada sang supir. Dia berlari memasuki gedung rumah sakit itu dengan terburu-buru. Dan setelah sampai diruangan IGD, dia melihat sesosok lelaki yang berdiri didepan pintu ruang perawatan itu. Lelaki tersebut juga tampak panik seperti halnya Vanya.

"Riddick, bagaimana keadaannya?" Tanya Vanya yang kini sudah berdiri tepat disamping lelaki tersebut.

Mendengar suara seseorang yang amat dikenalnya, Riddick pun menoleh dan langsung menarik tubuh Vanya kedalam pelukannya. "Tenanglah. Dia pasti baik-baik saja. Dokter sedang menangani kondisinya." Mempererat pelukannya dan mengelus punggung Vanya.

Tanpa sadar Vanya mulai terisak dalam pelukan sahabatnya itu. Dia mencemaskan kondisi seseorang yang berada didalam ruang perawatan tersebut.

"Bagaimana ini bisa terjadi, Riddick?" Tanyanya setelah mengurai pelukannya.

Riddick menarik tangan Vanya, membawanya duduk pada salah satu bangku yang tersedia disana.
"Aku juga tidak mengerti. Aku mendatangi rumahnya setelah mendapat telepon dari salah satu asisten rumah tangganya. Dia berusaha mengakhiri hidupnya sendiri dengan cara meminum obat penenang melebihi dosis." Jelasnya.

Vanya memutup mulutnya menggunakan telapak tangannya. Dia terkejut mendengar penjelasan Riddick yang ada dihadapannya.
"Kenapa dia melakukan ini? Kenapa dia ingin mengakhiri hidupnya, Riddick?" Vanya kembali menitihkan air mata.

Riddick masih berusaha menenangkan Vanya dengan cara mengelus bahunya. Sesekali dia juga terlihat menghapus air mata Vanya jatuh membasahi pipinya.

"Tenanglah! Dia pasti akan baik-baik saja. Key adalah gadis yang kuat!" Kembali membawa tubuh mungil Vanya dalam pelukannya.

Selang beberapa menit berlalu, dokter yang menangani kondisi Key pun keluar dari balik pintu perawatan. Riddick dan Vanya pun langsung menghampirinya untuk menanyakan kondisi sahabatnya itu.

"Bagaimana kondisinya, Dok?" Tanya Vanya dengan nada bergetar, seolah sedang menahan tangisnya.

"Masa kritisnya sudah terlewati. Dan pasien akan segera membaik secepatnya." Terang sang Dokter diakhiri senyum pada raut wajah keriputnya.

"Apakah kami bisa melihatnya, Dok?" Kalian ini pertanyaan itu terlontar dari bibir Riddick.

"Tentu. Tapi tunggu setelah pasien dipindahkan kekamar inap ya!"

"Baiklah, Dok. Terimakasih."

"Iya. Kalau begitu saya permisi." Berjalan meninggalkan Riddick dan Vanya yang mulai terlihat lega.

Key kini sudah berada dikamar inapnya. Riddick dan Vanya juga masih setiap menunggunya. Vanya mendudukan diri pada kursi yang ada disamping brankar. Dia menatap wajah pucat Key yang tampak penuh kesakitan. Bagaimana bisa sahabatnya itu berusaha untuk mengakhiri hidupnya. Apakah ada sesuatu yang membuatnya tersiksa, hingga dia memilih jalan yang salah ini.

Look At Me!Where stories live. Discover now