"Marisa Miler, bayangin perut ratanya, man ... rambut ikalnya yang pirang ... bibir sensualnya yang sedikit terbuka... Ah..., Anjrit.... Gue bisa ejakulasi hanya dengan memandanginya doang. Eh, eh, eh," Irham menghentikan kalimatnya sesaat, kemudian melanjutkan, "Lo bisa baca pikiran gue banget, Bule. Lama-lama elo gue jadiin pacar juga."

Pemandangan selanjutnya, Irham mendekati Sam dengan bibir yang dimonyong-monyongkan, hendak menciumnya. Sam yang ketakutan langsung melemparkan bantal di dekatnya ke arah Irham, lalu menahan dengan kedua tangan serta kakinya agar Irham tidak menciumnya dan berhasil. Irham yang sepertinya sedang mabuk berat langsung mundur dan duduk ke tempatnya semula. Yah, dalam keadaan normal, hal itu tidak mungkin dilakukan si judes dengan omongan yang nyelekit itu. Boro-boro bertingkah aneh, bergurau yang lucu pun nggak pernah. Tapi alkohol membuatnya berubah jadi cowok konyol yang lucu.

Omongan mereka semakin ke sini semakin gila dan absurd. Aku memberanikan diri melongokkan kepala melalui celah pintu yang kubuka lebih lebar, kemudian mendapati tiga botol vodka dan bungkus camilan yang berantakan dengan isi yang berceceran. Aku hendak keluar untuk melabrak mereka dengan tekad yang sudah bulat. Berani-beraninya mereka mabuk di tempatku tanpa seizinku juga. Aku akan mencari tempat sampah untuk membersihkan bungkus-bungkus makanan yang berserakan—mungkin setelah melakukan pekerjaan ringan itu, untuk malam ini insomniaku bisa sembuh. Tapi setelah sadar mereka adalah tiga laki-laki yang sedang mabuk, lebih baik aku melindungi diriku sendiri dengan menahan amarah dan tetap berada di dalam kamar. Di sanalah tempat paling aman untuk aku bersembunyi.

"Lo, Bule, lo mau jadi apa kalau lo lahir sebagai mutan?" Rikas melanjutkan obrolan konyol mereka.

Obrolan tentang X-Men pun kembali berlanjut, sodara-sodara.

"Logan!" jawab Sam sambil menyilangkan kedua tangannya yang mengepal, seolah-olah ada enam cakar logam yang muncul dari sela-sela jarinya, yang tidak mengeluarkan apa-apa padahal. Melihat kegilaan Sam, kayaknya dia juga sedang mabuk seperti kedua bodyguard-nya itu.

Dulu aku pernah memergoki Sam mabuk parah di acara ulang tahun salah satu teman kami di kampus. Saat itu aku memang tidak datang karena ada acara persiapan ulang tahun JOT TV, tapi Sam datang bersama Irham dan Rikas yang mana aku beneran nggak tahu kalau bodyguard-nya itu juga datang. Untung saja Annet meneleponku malam-malam saat acaraku sudah selesai, "Darling, cowok lo overdrunk, nih. Lo jemput sini aja, ya, gue khawatir dia dibawa para perempuan yang sama-sama overdrunk dan ya, lo tau sendiri apa yang bakal dilakuin cewek dan cowok yang lagi mabuk." Dari Balai Sarbini aku langsung ke pub tempat teman kami merayakan ulang tahunnya dan Sam sedang duduk di sofa pojokan dengan keadaan setengah sadar. Kedua bodyguard-nya entah berada di mana. Yang kulakukan saat itu adalah berusaha membawanya keluar, dibantu sopir perusahaan yang memapahnya masuk ke mobil dan segera bertolak menuju tempat tinggalku. Sopir kantor membantu menidurkannya di sofa apartemen, dan selanjutnya dia tertidur dengan pulas setelah jakpot di karpetku—terima kasih atas ini, ya, Sam. Keesokan paginya, dia bersikap seolah semalam tidak terjadi apa-apa, mengucapkan selamat pagi dalam keadaan hangover dengan rambut acak-acakan, dan aku memberikan pakaian ganti miliknya ke atas meja tanpa mengatakan apa-apa, selain, "Bersihin tubuh kamu, Sam, setelah itu kamu tahu harus keluar lewat mana," dengan nada yang kubuat sedingin mungkin. Aku meninggalkannya untuk bekerja tanpa membuatkannya teh hangat, kopi ataupun sarapan karena kadung dongkol. Sudah berulang kali dia berjanji untuk tidak minum secara berlebihan, dan seperti kucing, berulang kali juga dia melanggarnya.

"Ketebak banget, Bule," sahut Irham. "Lo yang nolak bercinta dengan Jean yang sebenarnya Mystique di tenda di film X-Men berapa ya, gue lupa. Lo cuma maunya sama si rambut merah itu."

"Karena gue tipe setia, Man."

"Yang terus-terusan mewek pas si Jean itu mati, ya, kan?" ledek Rikas.

"Secemen itu lah diri lo, Bule!" tuduh Irham sambil melempar kulit kacang dan Sam tidak mengelak. Kulit itu mengenai rambutnya yang berantakan dan menempel di sana.

"Nggak apa-apa, yang penting gue udah setia dan cinta mati ke dia. Mau balesannya gimana, ya terserah. Gue mencintai dia sebagai gue yang laki-laki biasa, bukan hakim yang menuntut ini-itu, ya, nggak?"

"Yang lo maksud itu si Jean atau siapa, Bule?" Suara Rikas kembali menggema.

"Menurut elo aja deh, apa di dunia ini ada cewek lain yang gue cintai selain nyokap, Luna, dan Luh?"

Jawaban Sam berhasil membuat kedua sahabatnya melemparkan bantal dan juga kacang kulit ke arahnya, kemudian tawa orang-orang gila yang sedang mabuk itu kembali menggelegar.

Cepat-cepat aku menutup pintu dan berjalan ke tempat tidur. Menutup kedua telingaku dengan tangan, tidak ingin mendengar kalimat terakhir yang dikatakan oleh Sam yang terus terngiang di telingaku. Aku tahu, meskipun laki-laki itu sedang mabuk, tapi seringnya, kejujuran terlontar begitu saja ketika sedang di bawah pengaruh alkohol, bukan? Dan alasan sebenarnya mengapa tidurku tidak nyenyak semalam bukan karena keberisikan yang terjadi di luar, tetapi perkataan terakhir Sam yang kudengar, yang membuatku merasa semakin terluka atas keputusanku dulu. Dan pagi tadi, setelah Sam membuatkan sarapan dan saat aku hendak membereskan semua sampah-sampah sisa semalam di ruang tengah sebelum berangkat bekerja, semuanya sudah kembali bersih seperti tidak pernah terjadi kekacauan semalam.

Yang Sam sisakan adalah perkataannya, yang terus membekas di dalam benakku. []


Lagi baik sayanya, jadi memposting bab 20 tanpa harus menunggu minggu depan yang mungkin nggak akan sesantai malam ini.


Oke, selamat menunggu bab berikutnya,


Dion Rahman

Head Over Heels (Kisah Cinta Ironis Sam dan Luh)Where stories live. Discover now