SO - BAB 49

13.9K 1.2K 19
                                    


Masih gelap.

Kemudian cahaya remang-remang.

Ryan terhenyak dalam posisi yang diyakininya adalah duduk. Di sini dingin dan gelap. Udaranya lembab tak menyenangkan. Keremangan itu semakin terlihat seperti setitik cahaya. Ia bangkit dan berjalan menuju satu-satunya cahaya. Satu-satunya yang bisa menuntunnya.

Cahaya itu semakin membesar seiring langkah mendekat Ryan. Kini cahaya itu sebatas api yang menari di sumbu lilin. Dan benar saja, itu memang cahaya lilin. Mudah saja Ryan mengenali pintu itu dengan secercah cahaya itu.

Kemudian titik cahayanya itu semakin banyak ketika Ryan melewati pintu. Sinar terang menyilaukan pandangannya yang telah sekian lama terkungkung dalam kegelapan. Ryan memproses sosok yang ada di depannya. Ia tersentak ketika mendapati ibunya dan pengasuh Ryan bayi, Leila terlihat sedang bercakap. Mereka menengok pada Ryan ketika mendapati Ryan yang berdiri di depan pintu. Sejenak Ryan merasa dirinya hanya bocah enam tahun yang baru saja melanggar aturan ibunya.

Ia melihat dirinya di sebuah toko roti mungil. Ia melihat dirinya di kehidupan yang lama.

"Sudah kubilang, hati-hati di jalan, Ryan," omel ibunya.

"Ibu..." Ryan melangkah maju dan mendapati senyum ibunya yang terlihat bahagia ketika menatapnya. Ibunya membuka tangan dan Ryan menerjang memeluk wanita itu. Kini ibunya terasa begitu nyata. Ryan menyukai pelukan ibunya.

"Tuhan memberkatimu, Nak," ujar Leila yang membelai kepalanya dengan penuh sayang. Wanita itu tidak tua renta seperti yang terakhir diingatnya. Ia terlihat lebih muda. Cantik dan tegar. "Kami sedang memasak kue cokelat."

Ryan menatap ibunya dan berharap mendapati sosok ibunya yang lebih muda pula, supaya Ryan bisa menebus kala itu. Namun yang dihadapannya adalah ibunya yang lebih dewasa, lebih terlihat bahagia. Manifestasi sosok ibunya setelah menjadi istri seorang William Archer dan ibu dari Ryan dan Emily.

"Duduk sini," kata Emilia seraya menepuk kursi.

Ryan mengamati Emilia dan Leila yang sedang bekerja sama untuk membuat adonan. Ketika ia berniat mengenyakkan tubuh, menerima tawaran ibunya, kakinya ditarik sesosok bayi kecil yang menatap penuh harap padanya. Mata bayi itu terlihat familiar. Ada sesuatu dalam mata itu yang menyejukkan hati Ryan.

"Dia tidak akan membuatmu duduk," kata Emilia seraya tertawa geli. Ia mengisi roti dengan berbagai macam isian hingga aroma lezat menguar memenuhi udara. "Aku mengerti jika waktumu tak banyak."

Ryan mengangkat bayi itu dalam gendongannya. Tanpa ia duga, bayi itu menyandarkan kepala pada bahu Ryan dan meringkuk nyaman di sana.

"Singgah atau tidak adalah keputusannya, Em," tegur Leila.

Emilia hanya tersenyum segaris pada Leila. Ia menatap Ryan dengan tatapan keibuan yang Ryan rindukan. "Kau tidak perlu menanggung segalanya. Kau tidak harus singgah jika kau tak mau. Kau tidak bisa mengambil semua jalan itu."

"Aku tak keberatan untuk tinggal," kata Ryan.

"Itu bagus," ujar Leila. Ia memasukkan loyang selanjutnya ke dalam oven.

Emilia menggeleng pelan. "Meski aku bisa berkata bahwa di sini adalah tempat terbaik yang membuatku bahagia, tapi... ada sesuatu yang menunggumu." Ia melirik si bayi yang tertidur. Membelai puncak kepalanya hingga Ryan bisa mendengar bayi itu mendengkur teramat lirih. "Belum waktunya untukmu."

"Tapi―"

"Ingat, Ryan. Tidak ada satu orang pun yang sempurna, yang bisa mempertahankan segalanya hanya dalam satu genggaman. Terkadang kau perlu melepas salah satunya. Kau kelebihan beban. Kuasamu tak akan stabil. Sudah saatnya kau melepas."

Surrender of ObsessionWhere stories live. Discover now