SO - BAB 8

28.2K 2.2K 50
                                    


Sudah lebih dari sepuluh menit Ryan tertahan di mobilnya. Ini sudah pukul enam dan ia baru saja kembali dari kantor. Namun ketika ia tiba di gedung apartemennya, ia mengingat kembali kebodohan yang ia lakukan pagi tadi dengan mencium Diana.

Astaga! Bagaimana Ryan bisa kehilangan kendali seperti itu? Ia bahkan mencium tanpa bertanya apakah wanita itu juga menginginkannya atau tidak. Ryan tidak tahu apakah ia lebih menyesali membawa Diana ke sini tanpa berpikir dua kali atau karena tidak membuat momen ciuman itu menjadi lebih layak. Ya Tuhan, Ryan Archer adalah seorang idiot. Dia bahkan tidak tahu cara mencium wanita dengan benar. Dia merelakan ciuman pertamanya lepas di sebuah lorong, di mana siapa saja bisa melihat mereka melakukan itu. Ryan tidak tahu apakah Diana menikmatinya atau justru setelah ini akan membencinya. Jadi Ryan mengalihkan pikirannya yang mulai menggila dengan kembali ke kantor dan berkutat dengan pekerjaannya. Sialnya, ketika kembali ke apartemennya, Ryan kembali dilingkupi perasaan itu.

"Brengsek!" Ryan mengumpat karena ponsel yang berdering membuatnya berjengit. Ia melihat layar dan mendapati nomor interlokal yang menghubunginya. Orang di seberang sana pasti cukup tahu waktu, kapan ia memutuskan untuk menelepon Ryan. "Halo?"

"Ryan? Hai!" Suara berat nan akrab itu terdengar dan sepertinya orang itu dalam suasana hati yang baik. Ryan tidak bisa berbohong bahwa ia juga merindukan ayahnya, William Archer yang berada di Amerika. Mereka hanya bertemu setiap ada perayaan penting dan Ryan perlu menjadwalkan kepergiannya. Meski mudah saja pergi ke Amerika, tapi Salendra Group telah menyita sebagian kehidupan Ryan. "Bagaimana kabarmu?"

Ryan menyandarkan tubuhnya di jok kemudi seraya menghela napas untuk melepaskan sejenak pikiran mengganggu tentang Diana. "Baik, Ayah. Kau? Apakah kau sehat?"

"Kau pikir aku ini tua dan penyakitan, ya?" Suara gelak tawa di belakang si penelepon terdengar. Ryan yakin Ayahnya sedang bersama saudara-saudaranya, Paman Mike dan Paman Tery. "Aku ini masih di awal lima puluhan. Aku masih cukup bugar untuk maraton beberapa blok."

Ryan tertawa pelan. "Aku percaya, oke? Bagaimana kabar adikku Emily? Ya Tuhan, aku sangat merindukannya."

Senyum Will di seberang sana terdengar. "Dia merindukanmu setiap harinya. Ia akan berada dalam masa liburannya dua minggu lagi. Sebentar lagi adalah kelulusannya dan dia akan segera kembali dari asrama."

Ryan tersenyum dalam hati. Ia membayangkan gadis kecilnya kini telah beranjak dewasa dan siap menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. "Astaga. Apakah aku masih memanggilnya adik kecilku? Maksudku, dia akan berada di area universitas dan dia akan punya pacar―tunggu. Apakah dia punya pacar?"

Di seberang sana hening. Sang lawan bicara tidak menanggapi Ryan. Itu membuat Ryan memikirkan kemungkinan terburuk. "Oh, sial. Emily punya pacar. Dia bukan kembali dari asrama karena hamil, kan?"

Orang di seberang sana tertawa. Sementara Ryan merasakan kekhawatirannya belum surut. "Astaga! Tentu saja, tidak! Emily punya banyak pengawal. Pacarnya harus melewati dua pamannya yang protektif, dan ayahnya sangat protektif, dan kakak laki-lakinya yang sangat-sangat protektif, sebelum bisa menidurinya. Aku yakin Emily juga bisa menjaga dirinya dengan baik."

Ryan menghembuskan napas lega. Ia tidak bisa membayangkan adik perempuannya yang hamil di usianya yang baru tujuh belas. "Oke, aku akan ke Amerika secepat yang kubisa, setelah urusan-urusan sialan ini selesai."

"Jangan memaksa dirimu, Ryan," tegur Will. Suara berat itu masih sama bersahabatnya seperti kali pertama orang ini mengenalkan dirinya pada Ryan. "Kau punya kehidupanmu sendiri dan kau berhak mengambil keputusan apapun."

"Aku mengerti."

"Kau mungkin harus mengurusi beberapa hal yang mungkin teralihkan dari hidupmu."

Surrender of ObsessionWhere stories live. Discover now