SO - BAB 35

14.4K 1.1K 9
                                    

Perjalanan Diana dan Delia terasa menyenangkan. Dengan kemacetan yang ada dan jarak yang cukup jauh ditempuh, Diana terkejut dirinya menikmati perjalanan sambil mengobrol banyak hal dengan Delia. Ibu mertuanya itu sangat antusias membicarakan masakan, meski ia mengaku tidak terlalu pandai memasak―sebenarnya, kemudian Delia meralat itu. Ia mengaku tidak pernah benar-benar bisa memasak. Ia pernah memasak air sampai kering dan sepertinya dapur memang bukan bagian Delia.

Delia juga menceritakan Ryan. Menceritakan kisahnya dengan Adrian. Menceritakan kisahnya menjadi seorang ibu dari bayi kembar―yang membuat Diana kagum.

Setelah memasuki kota Bogor, Diana tidak kesulitan untuk menunjukkan arah. Ia masih ingat jalanan yang mereka ambil saat mengunjungi alamat yang lama, sementara alamat yang baru lebih mudah dijangkau dengan nama perumahan menengah yang sudah terkenal.

"Yakin ini tempatnya?" tanya Delia.

Diana mengangguk pelan. Pagar rumah itu tertutup, mobil terparkir di teras, namun pintu depannya tertutup. "Benar, ini tempatnya."

"Lalu... apa?" tanya Delia.

Diana menatap Delia. Sekarang kegugupan untuk menemui bibinya mulai menjalar. Mendadak ia juga merasa tak yakin. "Mama, apa yang kaulakukan ketika seseorang tidak menginginkanmu atas dasar sesuatu yang bahkan bukan salahmu? Maksudku, aku menempatkan diriku sebagai korban. Aku jauh merasa lebih baik jika orang itu membenci memang karena diriku. Karena akulah tersangkanya. Aku bahkan tak tahu apa kebenarannya, apakah aku korban atau tersangka."

Delia jelas terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan Diana. Ia mengusap rambut Diana dengan penuh kelembutan. Meski Delia terasa seperti kakak bagi Diana, tapi sentuhan keibuan itu memang berarti sesuatu. "Diana... kau bisa berusaha untuk mengambil hati orang itu. Tak ada yang salah. Kau telah mencoba, bukan? Tapi ada kalanya, sesuatu itu tidak bisa dipaksakan. Jika memang itu bukan salahmu, tapi orang itu tidak mau menerimamu, mungkin sebaiknya kau menyingkir dan mencari kehidupan yang baru. Percayalah, ada banyak jalan kehidupan di luar sana yang menantimu. Tentu saja, yang jauh lebih baik."

Tidak bisa dipaksakan.

Kau bisa berusaha untuk mengambilnya.

Diana tersenyum. Ia menatap pintu depan rumah di hadapannya dan membulatkan tekadnya. Ia tak sejauh ini hanya untuk gugup dan menyerah tanpa mencoba. "Aku akan menemuinya. Aku ingin tahu kebenarannya. Mungkin itu akan melegakanku."

Delia mengangguk. Senyumnya menyiratkan rasa bangga yang ia tujukan pada Diana. "Ayo, aku akan menemani putriku."

Kemudian mereka berdua keluar dari mobil, membiarkan Ali menunggu. Keduanya saling berpandangan begitu membuka pagar yang tak terkunci. Ketika Diana masih berusaha membangun keberaniannya, Delia sudah mengetuk pintunya.

"Apakah... Bibimu ini bekerja?" tanya Delia. "Mungkin dia tidak ada di rumah?"

Diana menggeleng. "Aku tak tahu, Mama."

Sejurus kemudian pintu terbuka dan menampakkan Yunita yang mengenakan daster rumahan. Ia mengernyit ketika menyadari siapa tamunya. Seperti dugaan Diana pula, Yunita kembali membanting pintunya hingga Diana dan Delia berjengit.

Awalnya Delia terkejut atas sambutan itu, namun yang selanjutnya adalah sumpah serapah Delia yang tak pernah Diana dengar. "Apa-apaan itu tadi?!"

"Sudah kubilang, dia tak mau menemuiku," ujar Diana putus asa.

Tanpa Diana duga, Delia mencopot sepatu hak tingginya dan mengetuk pintu dengan sepatu keras-keras. "Buka pintunya, brengsek! Biarkan putriku masuk! Hei!" Wanita empat puluh tahunan itu jelas-jelas terlihat berang untuk membela Diana.

Surrender of ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang