SO - BAB 17 (Rated)

30.6K 1.8K 45
                                    

Warning! Mature content.

Idiot. Inilah yang orang-orang sebut dengan kepalang basah. Ryan tak mengerti bagaimana mulutnya dengan lancar mengatakan itu. Tadinya ia hanya berniat menyatakan perasaannya karena menurut Emily, itu akan menjadi satu langkah yang bagus, tapi lihat sekarang, Ryan dengan mudahnya mencurahkan apa yang ada dalam pikirannya tentang Diana. Meski tidak terencana, tapi memang itulah yang selalu ada dalam khayalan terdalam Ryan.

Ryan ingin berbagi hidup dengan Diana. Ryan tak bisa jauh dari Diana. Ryan ingin menyentuh Diana hingga seluruh tubuhnya sakit, namun ia ingin memperlakukan Diana dengan benar.

Diana tergugu menatap Ryan. Menggigit bibirnya dengan cara menggemaskan hingga Ryan ingin menggantikan gigi itu dengan giginya. Namun Ryan tahu bahwa wanita itu sedang ragu dan mencium dengan ganas bukanlah cara yang tepat untuk melepaskan keraguan itu. Ryan menjalankan tangannya ke pipi Diana dan mengusap di sana.

"Akankah kau menjawabku?" tanya Ryan. Ia ingin jawabannya adalah ya, meski ini bukanlah yang Emily dan dirinya bicarakan sekitar dua puluh menit yang lalu. Ryan bisa mengatasi Emily nanti. Tetapi ia tak bisa menunggu lebih lama dengan detak jantung menderu semacam ini. "Diana?"

Diana menunduk. Wanita itu mengalihkan pandangan ke dada Ryan. Sentuhan Diana selalu menyengat saraf, ia memainkan jari di dada Ryan hingga membuat gairah Ryan mengembang.

Sialan.

"Apakah... aku harus menjawabnya sekarang?" tanya Diana ragu-ragu.

Entahlah. Ryan tak yakin. Ia ingin menjadi bijak dengan memberi Diana waktu, tapi―sial―ia sama sekali tak bisa menunggu. Jika ada satu Diana di masa depan yang lagi-lagi menolaknya, Ryan tak akan tahu akan berakhir seperti apa dirinya.

"Karena..." Diana memelankan suaranya. "Karena sebenarnya kita belum benar-benar saling mengenal, kan?"

Ryan mengangkat dagu Diana dengan ibu jari dan telunjuk. Kecupan ringan Ryan berikan karena ia suka melakukan itu. "Aku tahu. Kita bertemu dengan cara yang aneh. Tak sering terjadi, kan? Tapi ini berkembang seiring kebersamaan kita, Diana. Aku yakin bahwa aku akan menjatuhkan hidupku padamu. Kita bisa mengawalinya dengan pernikahan dan kita akan mengenal satu sama lain."

"Apa yang kau lihat dariku? Mengapa kau menginginkanku?"

Ryan memakukan tatapan ke mata gelap Diana. "Aku melihat segalanya dalam dirimu. Jika aku belum mengenalmu, maka aku melihat diriku padamu. Kau seperti bagian diriku. Itu sebabnya aku lebih dari yakin untuk menikahimu."

"Astaga, itu sangat manis!" cetus Diana.

Ryan tersenyum. "Maukah kau?"

"Emily bilang kau berkencan dengan seseorang, Ryan." Tatapan mata Diana kembali menghindar. "Apakah itu benar?"

Ryan mengernyit. Ini semua karena kebohongan yang ia cetuskan tanpa pikir panjang. Kini semuanya terasa salah. "Uh, tergantung."

"Apa?"

"Apakah sebuah makan malam dan berbagi cerita disebut kencan?"

Wajah Diana menjadi muram. "Yah, kau tidak akan diam saja ketika sedang makan malam, kan? Ya, itu terdengar seperti kencan."

Ryan mengernyit mendengar respon Diana. Lebih tepatnya, kekecewaan Diana. Bukankah seharusnya itu berarti bagus? Mereka berkencan setiap hari. Tapi tunggu, mengapa Emily berkata Diana tak paham soal kencan ini? "Oke, itu adalah kencan."

Diana mendesah keras. "Apakah dia cantik? Apakah dia mengenakan gaun mahal?"

"Cantik, ya. Gaun mahal, tidak."

Surrender of ObsessionWhere stories live. Discover now