SO - BAB 30

17.9K 1.3K 16
                                    

Awalnya Diana bertanya-tanya urusan pernikahan apa lagi yang membuat Ryan tidak kembali lagi ke kantor. Pria itu sudah terlalu sering meninggalkan kantor selama dua minggu ini demi mengurus persiapan pernikahan. Ketika Diana mulai penasaran mengapa Ryan melajukan mobil ke jalan tol, Diana mulai bertanya.

"Menyebar undangan," jawab Ryan. Pria itu tersenyum dan kembali fokus menyetir.

Diana melihat Ryan yang mengambil jalur ke arah Bogor, saat itu juga Diana tahu apa yang dipikirkan Ryan. "Kita akan ke sana? Ke Bogor?"

"Tentu saja. Kita mungkin harus mengantar undangannya langsung." Ryan melepaskan satu tangan dari setir untuk meraih tangan Diana. "Kita bisa mengatasi masalah undangan itu, oke?"

"Ini..." Diana nyaris tidak bisa berkata-kata. Ia tak mungkin meminta lebih dari pria sempurna ini untuk dijadikan pendamping hidupnya. Pria penuh kejutan dan terkadang sangat bebal ini lah yang ia cintai setengah mati. "Ini berlebihan, Ryan." Diana mati-matian menekan rasa harunya. "Kau tidak perlu mengorbankan pekerjaanmu untuk ini. Kita bahkan tak tahu apakah alamat itu ada atau apakah benar mereka di sana."

Ryan menghentikan mobil ketika menunggu giliran di gerbang tol. "Diana, jika memang mereka tidak ada di alamat itu, setidaknya kita berusaha. Mereka pasti meninggalkan jejak. Kita pasti bisa menemukan mereka dan memberikan undangan untuk mereka, oke?"

Diana menurut saja. Meski sebenarnya, Diana tak terlalu yakin. Atau lebih tepatnya, tak mau berharap lebih. Pasti ada alasan mengapa berbulan-bulan ini kontaknya tidak berhasil, mengapa setelah sekian lama bibinya tidak menengok, mengapa keluarga bibinya tidak datang saat Diana memberi kabar kematian ayahnya.

Diana nyaris tidak bisa mengingat sosok bibinya. Ia masih sembilan tahun saat pertama dan terakhir kali bertemu bibinya. Seingatnya, bibinya mirip ibunya, yang artinya Diana punya jejak fisik dari wanita itu karena ayahnya selalu bilang Diana mirip dengan sang ibu. Bibinya itu pernah menatap dan memeluknya sekali. Diana masih mengingat bagaimana kakak dari ibunya itu membisikkan bela sungkawa dan menyuruhnya supaya tabah. Diana ingat dirinya terisak-isak karena dipeluk seseorang yang mirip ibunya―yang kala itu baru saja meninggalkannya. Tapi sejauh ini tak ada indikasi apakah bibi yang hanya sekali ia temui itu mau menerima dirinya.

"Apakah bibimu punya anak? Maksudku, kau punya sepupu?" tanya Ryan.

Diana menggeleng. "Aku tidak tahu. Saat itu umurku masih sembilan tahun ketika bertemu dengannya. Aku sangat berduka, kehilangan ibuku sangat berat. Ayahku jauh lebih terpukul. Sepertinya yang kuingat waktu itu hanya berduka berminggu-minggu bersama ayahku. Kemudian ayahku memaksa diri untuk pulih lebih awal karena salah satu dari kami harus menghibur yang lainnya. Tahun-tahun perjuangan yang berat untuk mengikhlaskan kepergian ibuku yang mendadak."

"Aku tahu rasanya," ujar Ryan.

Diana menatap Ryan yang berusaha mengendalikan dirinya. Sepertinya pria itu lebih terlatih selama bertahun-tahun. Diana tahu ibu Ryan meninggal karena melahirkan Emily. Ryan tidak pernah bercerita detil pelariannya saat remaja, tapi Diana memadukannya dengan berbagai cerita yang Ryan bagikan. Diana berusaha mengurutkannya sepotong demi sepotong. Mungkin terdengar tak adil karena Diana menarik asumsi sendiri, tapi semuanya runtut dan terkesan relevan untuk menjelaskan kepribadian Ryan saat ini.

Diana memiliki ayah yang mendukung dirinya selama itu. Tapi Ryan hanya memiliki beberapa tahun bersama William dan Emily sebelum melanjutkan kuliah di belahan dunia berbeda.

"Diana, aku ingin kau tahu bahwa kemungkinan buruk selalu terjadi," ujar Ryan. "Aku tidak mau menakutimu, tapi... kupikir melambungkan harapan terlalu tinggi tidak sepenuhnya baik. Apapun bisa terjadi pada bibimu, oke? Kau bisa terima itu?"

Surrender of ObsessionWhere stories live. Discover now