SO - BAB 7

28.1K 2.4K 45
                                    

2X!

Vote dan komentar ya!

Diana mengepak boks terakhir dan menutupnya dengan solatip. Segalanya telah siap, barang-barangnya sudah masuk ke dalam boks, agen pengiriman sudah datang, dan uang telah ia kantongi. Namun satu hal yang menjadi kekhawatirannya, ia belum juga mendapat balasan telepon dari keluarga almarhum ibunya yang berada di luar kota. Diana telah sebisa mungkin menghubungi bibinya sejak sebulan yang lalu, untuk memberitahu bahwa sementara Diana akan menumpang sampai ia bisa mandiri. Tapi tak ada balasan. Diana telah menunggu sekian lama dan bersabar hingga batas tenggang waktunya menempati toko sekaligus rumahnya ini, tapi nihil. Besok adalah hari di mana Diana harus angkat kaki dari tempat ini dan Diana tak ingin menyusahkan petugas hanya untuk menarik keluar barang-barangnya secara paksa.

Diana telah mengantongi alamat yang pernah ayahnya tinggalkan jika Diana sesuatu terjadi, namun sejak kematian ibunya―saat usia Diana masih dua belas tahun, ia memang tak pernah lagi bertemu dengan bibinya itu. Wanita itu bahkan tak datang saat pemakaman ayahnya dua tahun lalu.

Diana ragu, namun ia tak punya jalan lain. Ia tak mungkin bertahan di kota besar seperti Jakarta dengan uangnya sekarang. Ia tak akan bisa membangun usahanya lagi di sini. Mungkin ia akan datang ke alamat itu dan sisanya sama sekali belum terpikirkan oleh Diana.

"Ada lagi yang harus diangkat?" tanya seorang petugas pengantar yang memecah lamunan Diana.

Diana mengamati tempatnya berdiri sekarang. Kosong. Tak ada lagi oven atau meja yang biasa ia dan ayahnya gunakan untuk membuat adonan. Tak ada lagi perlatan masak lainnya. Rumah dua tingkat ini telah menjadi saksi bisu dari kenangan yang Diana miliki bersama ayah dan ibunya, namun Diana memang tak punya cara lain ketika ayahnya sakit dan butuh uang untuk biaya perawatan.

Diana berharap suatu hari nanti bisa menebus kembali tempat ini, namun rasanya mimpi itu sangat jauh untuk teraih.

Diana mengangkat tas selempangnya dan menggeleng pada petugas yang menanti jawabannya. Pria seumuran Diana yang tengah menggunakan topi dengan logo agennya itu mengangguk paham, lalu meninggalkan Diana.

Mungkin inilah saatnya mengucapkan selamat tinggal pada rumahnya, istananya, yang meski sederhana tapi Diana mencintainya. Diana tidak repot-repot mengunci pintu toko yang tidak ia miliki lagi. Ia yakin petugas bank pasti memastikan semuanya beres besok. Namun betapa terkejutnya Diana ketika ia berbalik, ia menemukan sosok akrab yang tengah menatap tajam padanya.

"R-Ryan?" Diana tentu saja terbata karena terkejut. Namun ia tak mau menunjukkan sendu suasana hatinya saat ini pada pria baik hati di hadapannya, jadi Diana memasang senyuman cerah. "Hei! Kau di sini. Apakah kau kesiangan dan bos melarangmu masuk―oh, sial, aku lupa jika kau adalah bosnya. Jadi... apakah kau ke sini untuk sarapan? Maaf, tapi aku sudah pernah mengatakanmu soal hal itu, kan? Jadi tokonya hari ini tutup―"

"Hal sialan apa yang kau lakukan?!" geram pria itu memotong Diana. Ia menengok ke arah truk besar yang mengangkut barang-barangnya, petugas sedang mengecek barang-barang. "Kenapa mereka memasukkan semua barang yang ada di tokomu?"

Diana mengendikkan bahu. "Aku sudah pernah bilang bahwa tempat ini telah menjadi milik bank. Dan sekarang adalah saatnya."

"Kau tidak bilang jika itu terjadi lusa depan!" desis Ryan.

Jujur saja, Diana ketakutan. Ia tak mengerti mengapa pria ini terlihat sangat marah. Mungkin pria ini belum mendapatkan sarapannya dan merasa kesal karena tujuan sarapannya ternyata tutup dan tidak akan pernah buka lagi.

Ryan menggeleng seraya mendengus. Ia berjalan dengan langkah tegas menghampiri petugas yang sedang melakukan pengecekan. Ia mengeluarkan dompet dan menuliskan sesuatu pada kertas. Petugas itu hanya menatap bingung pada pria yang sedang bicara panjang lebar.

Surrender of ObsessionWhere stories live. Discover now