SO - BAB 43 (Rated)

23.4K 1.3K 23
                                    

Warning! Mature content.

Selama bertahun-tahun Ryan berada di Indonesia, ia tidak pernah merasa begitu ingin pulang ke tempat Adrian. Rumah itu terkadang mempunyai kesan untuk mengoloknya. Betapa kehidupan Adrian sempurna berada di dalam sangkar megah, sementara Ryan menjalani kehidupan susah payah bersama ibunya.

Tapi sekarang ini, yang Ryan butuhkan adalah tempat pulang. Ia membutuhkan ayahnya. Ia tidak bisa meninggalkan Diana untuk kedua kalinya.

Diana mengerjap begitu mereka turun dari taksi. Diana mengusap air mata yang membasahi pipinya sejak turun dari gedung. Sepertinya wanita itu sudah jauh lebih tenang meski suaranya parau. "Kenapa kita ke sini?"

Ryan tersenyum. Menarik Diana mendekat seraya menyusuri halaman rumah Adrian. "Pertama-tama, anak dan istriku butuh makan siang."

Diana menarik napas.

"Kedua, dalam waktu dekat ini, aku ingin kau menjauh dari api."

Diana menarik napas lagi.

"Aku ingin Nana saja memasak untukmu."

"Aku ingin memasak," ujar Diana. Wanita itu menangis lagi dan Ryan pikir hal itu wajar mengingat apa yang baru saja mereka alami. Kemudian ia berkata dengan suara sesenggukan. "Kau belum sempat mencicipi makan siang buatanku. Aku membuat nasi goreng yang sama seperti makan malam pertama kita. Tidakkah kau mengingat nasi goreng itu?"

Ryan mengangguk. "Tentu saja aku ingat. Aku juga ingin mencicipi masakanmu."

"Maka aku mau memasak!" tukas Diana. "Aku ingin mengganti nasi goreng yang tertinggal di sana. Tidakkah kau memikirkan bagaimana nasib kotak makanan itu?"

"Tidak," balas Ryan cepat. "Aku hanya memikirkan dirimu."

Diana mengusap air matanya. "Aku akan memasak. Apa saja yang bisa mengisi perutmu. Kau mungkin kelaparan setelah menggendongku dari lantai dua puluh."

Ryan tiba di pintu depan dan menekan bel. Pintu terbuka menampakkan Nana yang terkejut dengan kehadiran sang tamu. "Hai, Nana."

"Tuan Ryan."

Ryan tersenyum meski rasanya sungguh sulit jika suara ledakan itu masih menggema di telinga dan pikirannya. Ia membimbing Diana masuk ketika Nana membuka pintu lebih lebar. "Adrian dan Delia ada?"

Nana menggeleng. "Tuan sedang keluar. Nyonya punya jadwal praktek. Si kembar baru saja dijemput Ali."

Ryan mengangguk. "Bisakah aku meminta teh hangat untuk Diana?" Ryan tidak membutuhkan teh. Sialan, dia butuh alkohol dan sesuatu yang menghilangkan kesadarannya. "Dan tolong siapkan kamarku."

Nana terlihat terkejut soal kamar, namun wanita empat puluhan itu tidak mengatakan apapun sebelum melesat ke dapur.

Ryan membawa Diana ke sofa ruang tengah dan memeluk Diana kuat-kuat. "Maaf, aku meninggalkanmu di sana."

"Maaf aku tidak memadamkan apinya," bisik Diana di dadanya.

Tangan Ryan mengepal. Ia tidak mengerti mengapa Diana meminta maaf untuk itu. Ryan tidak mau Diana berjuang untuk memadamkan api. Ryan ingin Diana berjuang untuk menyelamatkan diri dan bayi mereka. Jika saja Ryan terlambat sedikit saja...

Tidak. Brengsek, jangan pikirkan itu. Tidak akan terjadi untuk sekarang. Diana selamat. Mereka masih bersama. Semuanya baik-baik saja.

"Kita harus ke dokter untuk mengecek keadaannya," bisik Ryan. "Bayinya, Diana."

"Aku... merasa baik-baik saja." Diana mengecup dada Ryan hingga menyebabkan getaran nan damai, yang berefek baik pada Ryan. "Aku sudah mencoba untuk tidak panik. Aku tidak stres. Satu-satunya yang kurasakan saat ini adalah kelaparan."

Surrender of ObsessionWhere stories live. Discover now