SO - BAB 33 (Rated)

25K 1.4K 28
                                    

Warning! Mature content.

Ryan menyandarkan tubuh di ambang pintu seraya menatap punggung Diana yang setengahnya tertutup selimut. Ryan tak pernah benar-benar melihat Diana telanjang. Mungkin kesalahan terbesar saat ia kalut dan emosi adalah memaksa Diana untuk telanjang, namun saat itu tak ada gairah yang mendesaknya. Tak ada cinta. Hanya ada amarah yang ingin ia lampiaskan pada siapa saja.

Tapi sekarang ini, setelah Diana menjadi miliknya, seutuhnya, Ryan bisa meraih tubuh Diana. Menjamahnya dengan bebas. Penuh kecintaan. Penuh hasrat dan gairah. Bahkan punggung itu terlihat menggiurkan. Sangat. Ryan jadi keras lagi.

Diana seolah mampu menembus seluruh fantasinya. Ryan tahu seks adalah sebuah kata yang dielu-elukan. Beberapa orang bahkan memuja seks. Ryan selalu membatasi dirinya soal seks. Ia selalu menampik hasratnya dengan banyak hal―mengingat ibunya yang dua kali hamil sebelum menikah, mengingat Ian dan Kate yang lahir di luar pernikahan, mengingat apa saja yang akan ia pertaruhkan jika sampai ia menghamili seseorang, membayangkan bagaimana jika Emily atau Kate harus berurusan dengan lelaki berengsek. Sebaik apapun pengaman, Ryan tahu tak sepenuhnya pengaman itu akurat.

Ryan meringis ketika bagian di antara pahanya mulai terasa nyeri. Ia benar-benar butuh air dingin―atau mungkin ia butuh Diana. Tetapi Diana terlihat kelelahan di ranjangnya. Meski penyatuan pertama itu terasa fantastis, Ryan hanya mendapat satu kali bagiannya. Mungkin ia memang tak akan pernah puas dengan Diana. Tetapi ia harus menghormati Diana yang baru saja kehilangan keperawanannya. Diana terlihat kesakitan sekaligus menikmati pagi pertama mereka. Ryan tak benar-benar tahu seperti apa rasa sakit yang dirasakan Diana.

Ryan melirik ke balik bahunya untuk memastikan bak berendam sudah hampir penuh. Kemudian ia melangkah pelan ke ranjang, menyusupkan diri dengan perlahan di antara selimut yang sama dengan Diana, dan memeluk tubuh telanjang itu erat-erat.

"Tidak bisa bernapas," gumam Diana dengan mata terpejam.

Ryan tertawa pelan. Ia mengecupi wajah Diana hingga wanita itu membuka mata. "Bangun, tukang tidur. Ayo, aku harus mengurusmu."

"Aku tidak bisa bergerak," erang Diana. Matanya yang sayu berkedip melawan kantuk beberapa kali. "Aku lupa caranya berjalan."

Ryan mengernyit. Dalam hati ia mulai panik. Apakah ini salah Ryan hingga membuat istrinya kesakitan seperti itu? Dasar, seks sialan, desah Ryan. Ia membelai pinggul Diana dengan lembut hingga wanita itu membuka matanya lagi. "Aku... uh... mungkin bisa membuatmu lebih baik." Setidaknya, Ryan mencoba untuk itu. Ia membaca di internet apa yang bisa ia lakukan untuk membuat Diana lebih baik. Di sana tertulis, mandi air hangat akan membantu. Jadi Ryan menyiapkan air hangat untuk mereka berendam. "Kau tidak mau airnya dingin, kan?"

Diana menarik alis. "Memang apa yang kau lakukan?"

Ryan tersenyum. Ia bangkit dan menarik tubuh Diana dalam sekali angkat. Diana memekik seraya meringis, namun ia tetap melingkarkan lengan di leher suaminya. Ryan menurunkan Diana ke bak mandi dengan perlahan. Diana mendesis ketika pinggulnya tertutup air. Kemudian Ryan melihat air berubah merah jambu sebelum menjadi jernih lagi. Darah Diana, tanda kepemilikannya.

"Astaga," keluh Diana ketika melihat air yang bercampur darah keperawanannya. "Memalukan sekali. Tidak pernah ada orang yang melihat darahku. Maksudku, darah apapun yang keluar dari kewanitaanku."

Ryan tertawa pelan. "Aku suka kau berdarah. Tapi cukup sekali ini saja. Selanjutnya, aku bahkan tak membiarkan tubuhmu tergores segaris pun." Ia meraih sabun dan menuangkannya ke air, membiarkan busa menutupi permukaan air. "Nah, geser, Diana."

"Apa yang kau lakukan?"

Ryan berhati-hati. "Ini disebut berendam bersama. Aku memastikanmu mandi dengan benar, oke? Bukankah kau tidak bisa bergerak?"

Surrender of ObsessionWhere stories live. Discover now