SO - BAB 14

20.7K 1.8K 30
                                    

Mati. Bagus. Di saat Diana sangat merindukan pagi harinya bersama Ryan, pria itu justru mematikan panggilannya. Harusnya Diana maklum saja. Ryan pasti sibuk dan Diana hanya pengganggu kecil yang berusaha memamerkan masakannya.

Diana berharap Ryan tergiur dan memutuskan pulang lebih awal.

Tapi tentu saja ia tahu bahwa itu hanya harapan semata karena Ryan telah mengurus segala keperluannya untuk lima hari.

Siapa sangka lima hari itu berjalan sangat lama?!

Diana menggerutu pada dirinya sendiri. Menggerutu karena sangat merindukan Ryan. Menggerutu karena buku-buku Ryan berbahasa Inggris. Ia berharap mengenali Ryan dari catatan-catatannya, tapi semuanya dalam bahasa Inggris. Diana menyesali dirinya yang hanya lulusan SMA dan tidak punya kosakata lebih luas. Diana menggerutu karena banyak hal sejak ditinggal Ryan. Sekarang mentega yang ia butuhkan justru habis dan Diana telah memanaskan penggorengan.

"Sialan," umpat Diana. Ia mematikan kompor dan mengingat-ingat apakah ia masih punya mentega di tempatnya. Mentega adalah bahan utama, seharusnya Diana punya.

Segera saja Diana melesat ke apartemennya dan mengacak-acak lemari dapurnya. Biasanya ia punya persediaan mentega tapi entah mengapa mentega itu tak terlihat. Diana menggerutu karena tidak membeli lebih banyak dan karena tidak ada yang mengingat soal mentega yang habis. Ia sebal jika acara memasaknya terganggu karena bahan yang habis.

Diana melihat satu kemasan baru mentega di sudut lemari. Senyumnya mengembang seolah baru saja memenangkan lotre. Ia melihat pada tanggal kadaluarsa dan ia senang ketika mentega itu masih bisa digunakan.

Diana kembali ke apartemen Ryan untuk menyelesaikan masakannya. Seharusnya Diana tidak di sana tapi Ryan meninggalkan kuncinya dan entah mengapa Diana tidak berhasrat memasak di dapurnya sendiri.

Diana tak tahu jika merindukan seseorang bisa terasa mengerikan ini.

Saat Diana kembali ke dapur Ryan, ia terkejut menatap seorang gadis dengan dandanan aneh yang duduk di meja bar seraya mengotak-atik ponsel. Baik Diana maupun gadis itu sama-sama terkejut menatap satu sama lain.

Gadis itu terlihat sangat mencolok dengan jins robek di mana-mana. Pakaian hitamnya tertutup jaket kulit hitam. Rambut hitam bergaya bob itu dikepang kecil di kanan kiri. Mata hitamnya semakin tajam dengan garis mata yang dipulas hitam pekat. Ia bahkan punya dua buah tindik di telinga kanannya.

"Siapa kau?!" hardik si gadis punk pada Diana. Ia bahkan bersikap defensif dengan menghalangi jalan Diana.

Diana tak tahu siapa orang asing ini. Ryan tidak pernah punya tamu. Ryan juga tidak pernah bercerita jika punya teman seorang gadis yang berusia sekitar tujuh belas tahun dan bergaya punk.

"Harusnya aku yang bertanya, siapa kau?! Kenapa kau masuk ke apartemenku tanpa ijin?!"

"Maaf?" Gadis itu mengernyit. Ia menjilat bibirnya dan barulah Diana bisa melihat tindik yang gadis itu pasang di tengah lidahnya. "402. Aku yakin ini apartemen kakakku yang sedang sangat terbuka untuk menyambut kedatanganku. Kakakku, Ryan Archer. Kau ini siapa?!"

Mulut Diana membulat. Ia menggigit bibirnya seketika untuk mencegah mulutnya yang berkata macam-macam. Kekesalan yang ia rasakan mendadak surut digantikan rasa malu.

Adik Ryan. Astaga. Kenapa Ryan tidak memberitahu jika adiknya datang?

"K-kau?" tanya Diana tergagap.

"Ya," potong gadis itu lebih dulu. "Aku Emily Archer. Dan sekarang, di mana kakakku?"

Diana sudah mendengar banyak cerita tentang Emily, tapi ia yakin Ryan tak pernah menyebutkan bahwa adiknya bergaya punk di bagian manapun. "Uh... Ryan... dia pergi."

"Ke kantor?" tanya Emily melotot. Ia menatap jam tangan sportnya. "Ini belum genap pukul tujuh! Hanya orang idiot yang pergi ke kantor sepagi ini."

"Dia... pergi untuk beberapa hari." Diana tak mengerti mengapa suara mengecil. Ternyata rasa malunya belum juga surut.

"Ke mana?"

"Lombok."

"Untuk apa?"

"Uh... dia punya urusan bisnis."

Kemudian Emily mengernyit. "Tunggu. Dan kenapa kau bisa di sini dan pintu Ryan terbuka? Apakah kau pencuri?"

"Tidak," sahut Diana cepat. "A-aku... tetangga sebelahnya. Aku berada di 401. Aku... sedang memasak sarapan dan... dan... menteganya habis. Dan..." Diana kehilangan kata-kata. Dilihat dari sisi manapun, memang seharusnya ia tak masuk tempat ini ketika Ryan tak ada.

Emily memicingkan mata pada Diana. "Dan seingatku, 401 adalah milik Delia, ibu tiri Ryan."

Diana mendesah. Ia menunduk supaya tak melihat tatapan mengintimidasi Emily. Diana tak mengerti mengapa kakak beradik ini punya efek tatapan yang sama. "Yah..." Diana mengendikkan bahu. "Jadi... aku hanya menumpang di tempat Ryan karena dia mengijinkan. Aku sebisa mungkin membantunya membersihkan apartemen atau memasak untuknya. Ryan meninggalkan kunci dan aku tahu aku tidak seharusnya berada di sini ketika dia tak ada."

Emily menaikkan alisnya. Ia menyodorkan kursi untuk Diana seolah mempersilahkannya duduk. Emily masih menatap Diana bahkan ketika Diana menempatkan diri di posisinya. Diana hanya menunduk menatap mentega yang ia bawa.

"Ryan tidak pernah mengajak wanita," Emily menurunkan suaranya. "Apalagi tinggal bersama."

Diana mengangkat wajah untuk menyanggah. "Kami tidak tinggal bersama."

Emily memutar mata. "Kau di sini. Kau memasak untuknya seperti kalian tinggal bersama. Ryan sangat pemilih untuk mempercayakan sesuatu. Apalagi kau punya kuncinya. Ada sesuatu di antara kalian. Aku berani bertaruh bahwa kalian lebih banyak menghabiskan waktu bersama di satu tempat daripada di tempat masing-masing. Di 401 atau 402. Terserah. Pasti kalian juga pernah tidur bersama."

Diana menggigit bibir. Semua yang dikatakan Emily adalah kebenaran. Ia hanya merasa terlalu akrab dengan Ryan hingga rasanya terbiasa. Diana dan Ryan bisa menghabiskan semalam suntuk untuk bertukar cerita. Keesokan paginya mereka tak akan sadar jika telah tertidur di ranjang yang sama dan saling berpelukan.

Selain berciuman, Diana dan Ryan tak pernah melampaui batas.

"Kalian berpacaran?" Pertanyaan Emily menyentak Diana kembali. Emily memasang raut penasaran.

Namun Diana menggeleng cepat. "Tidak. Bukan. Kami tidak berpacaran."

Wajah Emily menyiratkan ketidakpercayaan. "Jadi... bukan kau yang dia ajak berkencan?"

Diana menggeleng. Kemudian menyadari satu hal. "Tunggu. Berkencan katamu?"

Emily mengangguk. "Ryan berkata, ia sedang berkencan dengan seorang wanita." Ia membuka tangannya lebar-lebar. "Itu sebabnya aku di sini untuk memberi kejutan. Supaya dia tidak berusaha membuat cerita bahwa ia sedang dekat dengan wanita dan berpura-pura membawa wanita gadungan ke hadapanku."

Diana mengernyit. Ia tidak yakin apa yang ia rasakan saat ini. Ia merasa marah dan terkhianati. Diana sendiri tak mengerti mengapa dirinya merasa seperti ini. Yang sebenarnya adalah hak Ryan untuk berkencan dengan siapa saja, tapi ia tak bisa menjelaskan mengapa jantungnya berdetak cepat sementara hatinya terasa seperti dipilin perlahan.

Ryan selalu pulang lebih awal dan menyempatkan diri untuk makan malam bersama Diana. Kemudian mereka akan melanjutkan dengan menonton film, atau bermain game, atau hanya duduk dan berbaring seraya bercerita untuk mengenal satu sama lain.

Tapi tak ada yang tahu apa yang Ryan lakukan di luar sana.

Ryan bebas melakukan apa saja. Ryan bebas memilih wanita mana saja yang berlipat-lipat kali lebih baik daripada Diana. Ryan bisa melakukan itu, meski ia mencium Diana.

Tiba-tiba Diana dicekam amarah. Entah bagaimana air mata telah membendung hampir tumpah, namun di hadapan Emily, Diana tak mau melakukan itu.

"Omong-omong, aku belum tahu namamu."

Dianaberusaha menampakkan senyumnya dan mengulurkan tangan pada Emily. Persetan jikasenyumnya akan terlihat aneh. "Namaku Diana. Senang berkenalan denganmu, Emily."[]

Emily!! (m)

Semoga suka :D

Surrender of ObsessionWhere stories live. Discover now