SO - BAB 32 (Rated)

Start from the beginning
                                    

Diana merona habis-habisan. Ia mencubit pipi Ryan karena telah membuatnya seperti itu. "Berhentilah merayuku!" gerutunya. "Rayuanmu berlebihan sekali."

Ryan menghela napas. "Sudah kuduga, aku tidak bisa lebih romantis lagi." Ryan berhenti sejenak, menatap Diana penuh arti. "Jadi... um... jika rayuanku tidak berhasil. Aku harus membujukmu dengan cara apa lagi?"

Diana tak mungkin melewatkan momen menggelikan ini. Ryan... merona? Astaga, ini pemandangan terbaik yang Diana dapati ketika bangun tidur. Wajah Ryan kontan memerah seraya menatap Diana penuh harap. "Membujuk untuk apa?"

Ryan berdeham. "Kau tahu..."

Diana mengangkat alis.

"Seks," bisik Ryan.

Mata Diana melebar. Sudah dipastikan pipinya merona. Diana tak habis pikir mengapa hal itu terdengar canggung padahal mereka adalah suami istri. Ya Tuhan, kenapa Ryan perlu bertanya? Itu membuat Diana semakin malu. Ryan sudah menjadi suaminya dan pria itu berhak atas dirinya. Semalam Ryan juga sudah memilikinya. Jadi untuk apa meminta ijin lebih lanjut?

Ryan melepaskan pelukan dan menatap langit-langit. "Sial, Diana. Rasanya canggung sekali. Rasanya aneh ketika sekarang kita berada di tempat tidur yang sama dan bisa melakukan apa saja tanpa batasan. Tapi rasanya... aku... aku... gugup." Kata terakhir diucapkan Ryan dengan sangat lirih. Ia menumpukan kepalanya untuk menatap Diana. Dengan hati-hati mengarahkan telunjuknya untuk menelusuri dada telanjang Diana. Sengatan gairah pun mendadak menjalari Diana. "Aku baru untuk ini."

"Baru?" bisik Diana.

Ryan mengangguk. "Aku belum pernah melakukan seks, ingat?"

"Aku juga," Diana ikut serta. Namun pertanyaan di kepalanya tak lagi tertahankan. "Tunggu. Bukannya semalam..."

"Semalam?" Ryan menatap Diana.

Diana mengangguk. "Memangnya siapa lagi yang melucuti pakaianku?"

Ryan menatap sekitar. Diana menatap kamarnya yang dipenuhi bunga, lilin aroma terapi yang hampir habis, tirai tertutup rapat seolah mereka enggan diusik mentari, pakaian pesta mereka tercecer tak beraturan.

Ryan tertawa mengamati ruangan itu. "Ya, itu aku yang melepasnya."

Diana sudah menduga itu.

"Tapi kita tidak melakukan apa-apa," bisik Ryan. "Kita... um... melewatkan malam pertama kita."

Diana menatap Ryan untuk mencari kebenaran.

Ryan mengendikkan bahu. "Kita kelelahan setelah pesta. Kau bahkan tertidur sebelum setengah perjalanan ke sini. Lihat yang kita lakukan pada kamar pengantin yang kudekorasi bagus! Kau terlalu lelah dan kebiasaanmu menendang itu masih belum hilang. Kau menendang semua kelopak bunga di ranjang. Kau menendangku hingga ke ujung satunya." Ryan menghela napas. "Ruangan ini jadi kehilangan fungsinya."

Diana masih saja malu jika Ryan mengingatkannya dengan kebiasaan tidurnya jika terlalu lelah. Diana juga tak mengira Ryan rela melewati malam pertama karena Diana terlalu lelah. "Jadi... kau tak melakukan apa pun?"

"Mungkin, aku mencumbu dadamu," bisik Ryan di telinga Diana. "Kau bisa melihat hasil karyaku."

Diana mendorong Ryan dan membuka kaitan bra-nya. Ryan ikut melongo ke arah pandang Diana, namun mereka berdua tidak menemukan apa pun setelah membuka penutup terakhir dada Diana lenyap.

"Aku suka pemandangan itu," tukas Ryan.

Diana mencubit perut datar Ryan hingga pria itu terkikik. Ryan menarik Diana ke pelukannya. Mengangkat Diana hingga wanita itu kini berada di atas tubuh Ryan. Diana merasakan sesuatu yang mengganjal di antara paha pria yang telah menjadi suaminya itu. Tawa mereka perlahan pudar digantikan tatapan intens dengan gelombang penuh cinta yang mengait keduanya.

Surrender of ObsessionWhere stories live. Discover now