24. FITNAH

885 125 12
                                    


Raya menunggu di depan ruang kuliahnya. Sudah lebih dari 15 menit ia mondar mandir di sana.

Seandainya ada Reva, ia bisa minta dia untuk menemaninya. Sayangnya hari ini Reva tidak masuk kuliah lantaran pulang ke rumah mamanya. Lagi pula Reva bolos sehari, dua hari atau seminggu pun ia tak akan pernah ketinggalan karena selain ia telaten dan rajin mengejar ketertinggalan, ia terkenal berotak encer.
Sejatinya Raya bukanlah bodoh, hanya saja kemauan untuk belajar masih tak sebanding dengan nafsu nya untuk balapan.

Tapi tidak untuk sekarang dan seterusnya. Ia sudah janji pada dirinya sendiri untuk fokus kuliah. Ia berharap bisa lulus cepat bersama Reva, meski nilainya tak sebagus Reva. Ia malas mengulang beberapa mata kuliah pada semester-semester awal dengan nilai pas-pasan, saat ia masih ogah-ogahan kuliah, dan lebih fokus balap serta siaran.

“Mondy kemana sih?” gumam Raya mulai jengah. “Tadi katanya mau pulang bareng dan suruh nunggu di sini.”
“Apa dia mau kasih kejutan lagi buat Gue?” tiba-tiba terlintas pikiran itu dibenak Raya yang membuatnya tersenyum-senyum geli.

“Mungkin saja ia menyiapkan sesuatu yang lebih special, tidak sesederhana sarapan bubur ayam berdua. Hihi….” Raya malu sendiri hingga harus menutup wajahnya dengaan telapak tangan.

Dalam banyangannya, setelah kelar urusan kampus, Mondy akan mengajaknya jalan-jalan, ke suatu tempat yang unpredictable bagi Raya, dan menghabiskan waktu bersama sampai malam.
Nggak tahu kenapa, Raya merasa masih ingin terus bersama Mondy. Apa ia masih kangen ya?
“Ray… Ray… Baru juga beberapa jam berpisah, sudah kangen aja!” ledek batinnya yang membuatnya harus menggigit bibir menahan senyum yang ingin selalu merekah. Pasalnya masih ada beberapa orang yang lalu lalang di sana, di dalam juga masih ada beberapa temannya yang masih mengerjakan tugas, atau sekedar mojok berpasang-pasangan. Raya jelas tak ingin jadi pergunjingan mereka yang melihatnya senyum-senyum sendiri.

“Happy sih happy Ray… tapi nggak over juga kale….” Pikiran warasnya mengingatkan.

“Lama menunggu!” Suara yang dinanti-nanti terdengar dari balik punggungnya. Raya menoleh.
“Lumayan sih. Gimana, udah kelar?” tanyanya lembut dan sok manis.
Jantungnya berdegup lebih cepat , harap-harap cemas. Keyakinan Mondy akan memberikan surprise berikutnya makin kuat. Apalagi Mondy menatapnya dengan  senyum tapi tak berlangsung lama.

“Justru itu….” Jawab Mondy mengesah.
Raya segera paham bahwa ada yang tidak beres.

“Pak Bandi, dosen kesayangan Lo dan Reva itu belum datang juga. Dan Gue harus menunggu 1 atau 2 jam lagi.”  Ada nada sesal dan kesal di wajah dan ucapan Mondy.

Raya mengangguk-angguk berusaha tak menampakkan kekecewaannya. Bayangan-bayangan indah di kepalanya segera ia musnahkan dan lempar jauh-jauh.

“Tapi pasti kan beliau 1 atau 2 jam lagi akan datang?” Raya memastikan.

“Mbak Yaya bilang sih gitu. Tadi aku beranikan diri WA dibaca tapi tak dibalas. Aku telpon nggak diangkat. Padahal aku cuma mau naya beliau ke kampus apa tidak? Dan bisa ketemu beliau kapan? Sekaligus meminta waktu beliau untuk menguji.
2 dosen penguji lainnya mengikuti jadwal Pak Bandi yang super padat dan agak unik itu. Alhamdulillah sih Ray, 2 yang lain nggak bawel. Ya, kemungkinan besar dalam minggu ini. Doakan ya Say.” Jelas MOndy lembut.

Raya mengangguk mendengarkan curhatan Mondy.

“Ya udah. Kamu yang sabar ya? Kita tunggu aja.” Raya mengusap lembut lengan Mondy beberapa kali dan memaksakan diri memberikan senyum termanisnya untuk Mondy, meski sejatinya ia kecewa.
“Makasih sayang…” lirih Mondy berusaha tersenyum juga. “Terimakasih untuk pengertian kamu, dan senyum kamu yang menyejukkan hati aku.” Lanjutnya dalam hati.

JANGAN SALAHKAN CINTAOn viuen les histories. Descobreix ara