BAB 25 - Give up? It's Not Me

Start from the beginning
                                    

Bara mengusap kepala Gita, matanye teduh menatap wajah Gita yang basah. "Gue janji bakal bawa lo balik, asal lo sembuh." Dulu di saat dia terpuruk, cuma Gita yang dengan suka rela mengulurkan tangan untuk membantunya. Sekarang gilirannya, gilirannya untuk terus menemani Gita dalam masa-masa sulit seperti sekarang ini.

"Lo nggak sendiri Git, lo punya gue, Defan, Thomas, Roni, semua nunggu lo. Kita saudara kan?" tanya Bara.

Gita menangis dan menutupi wajahnya. Harusnya dia tidak pernah menghancurkan hidupnya begini. Harusnya dia mendengarkan ucapan Bara, kalau Beni itu bukan orang baik. Harusnya dia langsung pergi waktu itu, bukannya menyerah dan kalah pada obat yang menghancurkan tubuhnya secara perlahan.

Bara memeluk Gita, menepuk-nepuk pelan punggung Gita. Saat ini yang Gita butuhkan cuma teman dan dukungan. Tidak lebih. "Jangan nangis terus, lo serem."

Gita mendengus pelan dan mengusap airmatanya. "Bodo amat."

Bara tertawa geli dan melepaskan pelukannya. Alisnya terangkat dengan senyum hangat. "Gue temenin terapi ya?"

"Nggak usah, lo ganggu nanti," tolak Gita sambil tertawa.

Bara mencibir pelan tapi dia ikut tertawa. "Gimana hasil tes kesehatan lo?"

"Nggak tau, belum keluar. Mungkin besok," kata Gita.

Bara mengangguk-anggukan kepalanya. "Mudah-mudahan semua baik," doanya tulus.

Gita tersenyum hangat dan mengangguk. Dia masih beruntung karena ada sahabat-sahabatnya yang selalu datang. Ada Bara yang memberikan dukungan sepenuhnya. Setidaknya dia tidak sendirian sekarang. "Thank," ucapnya lirih. Itu adalah kata-kata yang paling ingin dia ucapkan untuk semua temannya. Teman yang benar-benar teman.

"Harus ada balesannya," jawab Bara.

"Apa?" tanya Gita.

"Lo sembuh, dan semua yang kita lakuin bakal terbayar," jawab Bara tegas dan yakin.

🍬🍬🍬

Caramel terus merutuk kesal. Kalau saja ada yang bisa dia cekik pasti akan dia cekik sekarang juga. Wajahnya cemberut sambil mengurut kakinya yang membiru karena jatuh tadi. Bara benar-benar keterlaluan. Sudah dicuekin habis-habisan, ditinggal pulang pula. Untung tadi dia tidak diculik.

Kepalanya menggeleng pelan. "Sabar-sabar," katanya sambil mengelus dada.

"Ngapain kamu?" tanya Rafan sambil duduk di samping Caramel.

"Nyuci baju," jawab Caramel ketus. "Keliatannya Kara lagi apa?"

"Galak amat," kata Rafan dengan geli. Matanya melirik tangan dan kaki Caramel yang memar. Dia hanya menghela nafas panjang. Pemandangan paling biasa. Sekaang tidak tahu alasan apalagi luka itu bisa muncul.

Caramel meremas tangannya sendiri. "Liat aja tuh orang.." dumelnya.

"Siapa?" tanya Rafan lagi.

Caramel melirik Rafan dengan wajah menakutkan. "Kepo!"

"Ada apa?" tanya ayah yang baru saja pulang dari kantor. Penampilan ayah dengan kemeja yang sudah digulung hingga siku membuatnya kelihatan lebih santai. Caramel tidak heran kalau sampai sekarang masih banyak wanita yang berusaha mengambil perhatian ayahnya.

"Ayaaaaaaah," panggil Caramel sambil merentangkan tangan lebar-lebar.

Ayah tersenyum dan mengacak rambut Caramel. Putri yang selalu jadi kesayangannya. "Sudah makan?"

"Udah," jawab Caramel. Dia menciumi pipi ayah seperti biasa.

"Kara kan udah besar," kata bunda yang membawa dua plastik dengan logo yang tidak asing lagi. Salah satu logo dari toko kue langganan bunda.

The Boy With A Fake SmileWhere stories live. Discover now