BAB 25 - Give up? It's Not Me

Mulai dari awal
                                    

Fina menatap mata biru Bara yang masih tenang seperti biasa. Warna birunya seperti hamparan laut tanpa ombak. Tapi, bukankah laut tanpa ombak seperti manusia tanpa nyawa.

"Perlu gue anter balik?" tanya Bara setelah mengusap pipinya yang memerah.

"Nggak perlu," ketus Fina.

Bara mengangguk. "Oke," dia menoleh pada Raya. "Ayo balik."

Raya yang sejak tadi diam langsung kembali tersenyum lebar. Dia mengangguk dan kembali menggandeng tangan Bara. Alisnya terangkat dengan wajah meledek ke arah Fina. Sekali dayung dua pulau terlampaui. Dia bisa pacaran dengan Bara dan bisa mengalahkan Fina. Saingannya setiap ajang cheerleaders antara sekolah.

Selama di perjalanan Bara hanya diam. Dia pacaran dengan Raya bukan karena suka pada cewek itu. Semua gara-gara Caramel yang terus mengikutinya. Tidak tahu apa yang sekarang cewek itu pikirkan. Kenapa harus sampai begitu, apa susahnya melupakan dia dan pura-pura tidak kenal. Itu akan lebih mudah untuk mereka sekarang.

"Thanks," kata Raya setelah turun dari motor Bara.

Bara cuma tersenyum kecil dan menganggukan kepala. "Gue langsung balik ya."

"Nati gue ke bengkel," kata Raya. Dia mencium pipi Bara dan melambaikan tangan. "Bye, take care," katanya sebelum masuk ke dalam rumah besar dengan dinding yang didominasi oleh kaca. Sangat indah meskipun halamannya tidak terlalu luas.

"Sial," desis Bara sambil mengusap-usap pipinya. Kalau bukan karena terpaksa dia mana mau dicium Raya. Dia langsung menyalakan motornya kembali. Masih ada waktu untuk mengunjungi Gita di tempat rehabilitasinya sekarang.

Motornya melaju, melewati sekumpulan kendaraan yang meramaikan jalan di jam-jam sibuk ini. Dengan lincah motornya meliak-liuk diantara kendaraan-kendaraan besar. Kecapatan motornya semakin bertambah setelah melewati batas kota Jakarta. Dia dan Defan sengaja memilih daerah di luar Jakarta karena semakin sedikit yang tahu kalau Gita adalah pecandu maka itu akan semakin baik. Saat ini masa depan Gita sedang dipertaruhkan.

"Mas Ken," sapa ibu Ayu. Ibu yang sanga baik dan Bara percayai untuk menitipkan Gita.

"Sore Bu," balas Bara sambil menyalami wanita paruh baya itu.

"Gita lagi ada di taman," kata bu Ayu.

Bara tersenyum dan menganggukan kepalanya. "Saya ke Gita dulu Bu."

Gita sedang duduk di kursi taman, dekat dengan pohon rindang yang melindunginya dari panas matahari. Rambut panjangnya tergerai bebas, dihempas angin segar sore hari. Wajahnya putih pucat dengan lingkaran hitam di bawah mata. Pemandangan yang beberapa hari ini harus Bara saksikan setiap melihat wajah Gita.

"Bengong aja," kata Bara setelah duduk disamping Gita. Dia memejamkan mata dan mendongak, menikmati suasana yang menenangkan.

Tidak ada tanggapan dari Gita. Sejak masuk sini Gita memang jadi pendiam. Wajar saja, cewek itu pasti sedang banyak pikiran. Siapa yang tidak kepikiran kalau masa depan dan hidupnya terancam. Semua karena satu barang haram itu.

"Telat setengah jam," kata Gita serak.

"Hehe maaf, gue udah berusaha cepet," jawab Bara.

Gita tersenyum kecil dan menundukan kepalanya. "Gue mau pulang Ken," lirihnya.

"Iya nanti kalau lo udah sembuh," jawab Bara santai.

"Gue mau pulang sekarang, gue nggak betah di sini," kata Gita sambil terisak. rangorang di sni memang baik, tapi dia lebih baik di rumah. Setidaknya ada Bara dan yang lainnya. Seramai-ramainya di sini dia tetap merasa sendirian.

The Boy With A Fake SmileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang