#30 - SANTET (PART 4)

Start from the beginning
                                    

Setelah teh ratih merasa tenang, kedua pria itu menyuruhnya untuk bersiap-siap pergi kerumah sakit. Teh Ratih mengikuti saja semua perintahnya mungkin karena dia sudah merasa syok duluan mendengar suaminya meninggal. Dan ketika bapak bertanya bagiamana dia pergi kerumah sakit bersama kedua orang tua itu, teh ratih mencoba berpikir dan mengingat-ngingat.

“naik delman pak. Astagfirulloh saya baru ingat.” Jawab teh Ratih yang kemudian mukanya berubah menjadi ketakutan.

Kalau dipikir secara logika tak mungkin pergi kerumah sakit menggunakan delman. Bagi yang belum tahu delman itu adalah kereta kuda, atau didaerah lain disebutnya andong. Mungkin tak sadar karena selama perjalanan teh Ratih menangis, hingga akhirnya ia berhenti ditengah jalan. Kedua pria itu ijin untuk pergi buang kecil.

Tapi cukup lama pergi, kedua pria itu belum juga datang. Teh ratih yang daritadi merasa sedih hingga menghiraukan sekitar, kini ia mulai tersadar. Ia mulai merasa takut, bahkan ketika menengok kiri dan kanan ia merasa awam, jalanannya bukan jalanan seperti yang biasa ia lewati. Dan baru tersadar bahwa ia berada ditengah hutan.

Bayangkan ditengah hutan sendirian, duduk diatas andong hanya ditemani lampu kelenting yang tergantung didepan. Bahkan kuda yang tadi mengangkut andongnya juga mendadak hilang. teh Ratih tak bisa berbuat apa-apa ketika dia ia ditinggalkan kecuali menangis sendirian. Teh Ratih mencoba turun sambil memanggil-manggil kedua pria tadi, tapi nihil tidak ada jawaban.

Teh Ratih kebingungan, dia mau teriak tapi takut karena dihutan itu ga ada siapa-siapa. Mau jalan takut tersesat. Akhirnya dia memutuskan untuk diam diatas andong. Kini pikiran teh Ratih tak lagi fokus pada kabar kematian suaminya, ia sekarang malah bersedih karena ga bisa pulang. Selama menunggu itu menurut teh Ratih beberapa kali dia mendengar suara ramai orang lagi baca yasinan, tapi tak tahu arahnya dari mana yang pasti suara itu berdengung ditelinganya. Mungkin karena selama teh Ratih sakit, kang Asep beberapa kali mengadakan pengajian rutin dirumah.

Karena saya penasaran, maka bertanya berapa lama dan apa saja yang dilakukan teh Ratih waktu itu. Dia bercerita ketika sedang duduk diatas andong, dia didatangi seorang perempuan. Dia tak bisa memastikan wajahnya, tapi wanita itu mengenakan kebaya dan kerudung tapi rambutnya tergerai kedepan. samar-samar dia bisa melihat matanya yang bulat menatap tajam kearahnya.

“siapa dia teh ?” saya melanjutkan pertanyaan.

Teh Ratih menjawab bahwa wanita itu hanya muncul kadang-kadang, mula-mulai hanya kepalanya saja yang terlihat sedang mengintip dibalik pohon. Kemudian sedikit demi sedikit dia mulai berani menampakan diri. Tapi dia tak pernah mau dekat, jaraknya sekitar beberapa meter dari tempat teh Ratih duduk.

“kenapa teteh tak bertanya atau menghampirinya ?” saya masih belum puas dengan jawaban teh Ratih.

“coba kamu bayangkan, saya duduk di hutan. Gelap gulita, sinar hanya berasal dari lampu kelenting itupun redup karena tertiup angin. Bahkan saya berusaha menjaga apinya agar tidak padam. Kemudian ada seorang perempuan yang memperhatikan dari kejauhan dengan tatapan yang menakutkan. Memangnya kamu bakal berani menghampiri lalu bertanya siapa dia ?”

Jawaban teh ratih membuat tubuh saya merinding. Berada ditengah kebun teh saja waktu dicegat anjing hitam kemarin hampir membuat saya kencing dicelana, apalagi teh Ratih sendirian dihutan.

Tempat teh Ratih tersesat juga saya tanyakan apakah benar-benar hutan, dia menjawab tak tahu juga, yang pasti tempat dimana teh Ratih berada banyak pohon-pohon besar berdiri dan dia berada ditengah jalan lebar yang membentang, tapi bukan jalanan aspal. Dia memastikan itu jalanan tanah, seperti tanah liat, soalnya saat dia turun dari andong, kakinya kotor oleh lumpur.

Kata bapak untung teh ratih ga keliaran, soalnya kalau dia turun dan masuk kedalam hutan, pencarian bapak ga bakal secepat ini. Bahkan yang paling mengerikan mungkin teh Ratih ga bakal ditemukan, dia akan tersesat selamanya.

Menurut bapak ini cara paling sadis dalam mencelakakan orang, soalnya kalau hanya sekedar kirim paku, muntah darah atau bahkan sakit kepala, medianya hanya menggunakan boneka dan itu cara paling kasar, masih bisa dilihat dengan kasat mata. Tapi kalau sudah sampai menarik sukma dan menggantinya dengan siluman, itu cara paling halus tapi mematikan.

“berapa lama teh Ratih disana ?” saya masih penasaran.

“saya tak tahu, tapi mungkin tidak sampai sehari. Soalnya selama disana, hutan tetap gelap gulita. Hingga akhirnya saya melihat bapak, awalnya saya pikir bapak orang jahat yang hendak mencelakakan saya. Sampai akhirnya saya merasa yakin karena terdengar suara ibu samar-samar memanggil nama saya.”

Gila pikir saya, teh ratih sakit sudah hampir satu bulan lebih, tapi dia disana tidak sampai satu malam. saya ingin menanyakan perbedaan waktu ini kepada bapak, tapi rasanya waktunya tidak tepat jadi saya urungkan niat, kapan-kapan saja.

“oh iya pak mengenai wanita yang selalu memperhatikan saya itu siapa yah ?” tanya teh Ratih kepada bapak, mungkin dia juga penasaran.

Tapi bapak menjawab sewaktu menjemput teh Ratih, dia tak melihat apapun. Itu bisa siapa saja, tapi bapak bilang tak penting lagi, yang penting sekarang teh Ratih sudah sembuh. Bapak berpesan agar nanti sebelum tidur berdoa dulu, bisa alfatihah atau bahkan bismilah juga tidak apa-apa. Setidaknya ada penjagaan, bila ada hal-hal aneh kita bisa tersadar.

Dua orang pria yang menjemput teh ratih itu adalah suruhan kata bapak, mereka ditugaskan untuk menjemput sukma teh Ratih. Mendengar keterangan bapak teh Ratih baru sadar bahwa saat dia bangun dan membuka pintu itu ternyata hanya sukmanya saja, sedangkan jasadnya masih terbujur ditempat tidur, saat itulah siluman suruhan masuk menggantikannya.

“pak apa bapak bisa untuk membalikan santet ini, agar dikembalikan kepada yang mengirim, hanya sekedar untuk ngasih pelajaran saja ?” kata kang Asep.

Mendengar perkataan kang Asep, bapak merasa kaget atau mungkin marah. Saya tahu ekspresi bapak kalau sedang menahan kesal atau marah saat sedang dirumah. Tapi bapak tidak menunjukan kemarahannya, dia lebih memilih diam dan menarik nafas dalam-dalam. Saya juga sedikit aneh mendengar kata-kata kang asep, koq kesannya kang Asep seperti menyuruh bapak untuk menyantet orang.

“huss. Ga boleh gitu sep. sukur alhamdulilah istrimu sudah sembuh juga. Ga usah macam-macam dan nyari perkara lagi.” Jawab mertua kang Asep.

“takutnya kalau ga dikasih pelajaran, orang yang mencelakakan saya ini ga kapok dan bakal berulah lagi.” Sepertinya kang Asep ngotot sekali.

Untuk mencairkan suasana, bapa bercerita tentang kisah serupa seperti yang dialami hari ini. Kejadian ini ketika dia masih remaja katanya. Waktu itu ada salah satu tetangga bapak mengalami hal yang sama seperti teh Ratih, bahkan lebih parah. Mari kita sebut saja tetangga bapak ini teh Maryah.

Teh Maryah ini kondisinya sama seperti teh Ratih kalau sedang kumat, tapi parahnya lagi Teh Maryah suka berkeliaran dihutan, jadi dulu dibelakang kampung kami itu masih ada hutan liar sebelum akhirnya hutan tersebut dibuka pemerintah untuk dijadikan perkebunan teh seperti sekarang.

Bapak masih ingat, sekitar tengah malam kalau ga salah, tiba-tiba terdengar suara kentongan dari bale desa. Orang-orang ribut dan berbondong-bondong keluar rumah untuk menghampiri kearah sumber suara. Biasanya kentongan hanya dibunyikan kalau dalam keadaan darurat saja, kalau ada maling atau terjadi bencana. Maklum dulu gunung tangkuban perahu beberapa kali masuk dalam kondisi waspada, himbauan dari pemerintah.

Sumber:
Written by Endokrin (KASKUS)

RandomCreepypasta [RanCreep]Where stories live. Discover now