11

691 23 0
                                    

WARNING! TYPO BERTEBARAN!!!



Naya, Darya bersama dengan empat orang teman mereka, tengah berkumpul di gazebo rumah Darya. Mereka berenam berencana untuk belajar berkelompok, guna mempersiapkan diri menghadapi UN dan SNMPTN & SBMPTN.

"Status siaga level tiga Gunung Agung dinaikkan menjadi level empat atau status awas," Bima membaca postingan instagram dari akun halloBali yang menginfokan kenaikan status Gunung Agung yang berkaitan dengan aktivitas Gunung Agung yang terus meningkat.

Naya menoleh ke arah Bima, yang memperlihatkan foto dan vidio letusan atau erupsi Gunung Agung dari ponsel milik Bima.

"Ck, jadi prihatin gue, sama yang tinggal di lereng Gunung Agung." kata Darya.

Lalu, Santi ikut mengambil ponsel miliknya dan melihat postingan akun halloBali yang diberisikan caption 'Warga Karangasem, berbondong-bondong ke posko pengungsian pada malam hari'. "Di zaman teknologi yang udah maju kayak sekarang, emangnya gak ada gitu alat buat mencegah Gunung meletus?"

Kelima orang yang ada di gazebo itu pun menoleh ke arah Santi.

"Udah, hukum alam San. Gak bisa dicegah atau ditolak-," sahut Naya. "Kalaupun ada alatnya, gak akan bisa mencegah lah. Tergantung sama kondisi alam sama kehendak Tuhan aja. Bisa aja, nanti kalau ada alatnya bilangnya mau meletus karena udah nyemburin abu vulkanik. Tapi, kalau Tuhan berkehendak lain, gimana? Misalnya cuman abu doang yang keluar, gak pake lahar panas."

"Bener kata Naya. Gunung meletus, gak selamanya buruk kok. Pasca gunung meletus, pasti banyak material bangunan yang sebelumnya stocknya menipis jadi banyak lagi. Trus, material yang dibawa saat gunung itu meletus, juga bisa menyuburkan tanah, yang baik bagi pertanian." Darya berkata panjang lebar dan membuat teman-temannya manggut-manggut sendiri. Memahami perkataan Darya.

"Ehem... ngomong-ngomong soal status. Gunung aja punya status, masa kamu enggak sih," celetuk Tia, berniat menyindir Darya dan Naya.

Orang-orang yang mengerti arah ucapan Tia pun tertawa. Kecuali, Darya dan Naya.

"Bisa nyambung gitu ya?" kata Ari.

• Satu SMA •

Ayana dengan malasnya memasukkan pakaian yang kemarin ia bawa dari perkemahan, kedalam mesin cuci. Ekspetasinya membawa semua pakaian itu ke laundry pupus sudah. Dinda memang mengajarkan agar semua anak-anaknya, tidak manja dalam hal mecuci pakaian. Baik Aditya, Naya ataupun Ayana memang mencuci pakaian mereka sendiri, tidak dicucikan oleh art maupun di laundry.

Ayana lalu memencet beberapa tombol dan meninggalkan tempat cuci. Hari minggu, memang membuat rumah Ayana sepi. Dinda sudah pergi arisan bersama teman-temannya, Naya sedang berlajar berkelompok bersama teman-temannya juga. Tinggal Aditya yang Ayana belum tahu kabarnya.

Ayana menaiki tangga dan menuju kamar yang berada tepat di sebelah ruang keluarga. Cukup lama, Ayana berada di hadapan pintu kamar Aditya tanpa mengetok atau membuka langsung pintu itu.

Tok... Tok... Tok...

"Kak Adit!!" teriak Ayana. "Kak Adit!! Bangun!"

Pintu terbuka dan menampakkan sosok tinggi dan mata terpejam.

"Ada apasih, pagi-pagi buta bangunin gue?"

"Jam sepuluh kak," sahut Ayana membuat mata Aditya yang semua terpejam menjadi membelalak.

"Seriusan?"

Ayana mengangguk, "kenapa?"

"Gue ada janji sama Zivanya," kata Adit sebelum menutup pintu dan menguncinya.

Ayana berkedip dua kali ketika pintu kamar Aditya tertutup tepat dihadapan wajahnya. "Aku ikut ya!" teriak Ayana lalu dengan cepat ia turun ke tempat cucian dan mendapati cuciannya sudah selesai. Ayana langsung menjemur cucian itu dan setelahnya, kembali ke kamar untuk berganti baju.

• Satu SMA •

Ayana di usir ke kursi belakang karena Zivanya sudah datang. Ayana tersenyum pada Zivanya, lalu membuka pintu belakang mobil.

"Obat nyamuk mode on," gumam Ayana pelan saat ia melihat Aditya dan Zivanya menunjukkan kemesraan mereka di dalam mobil.

"Gimana Na, rasanya jadi anak PMR?" tanya Zivanya ketika lampu merah.

"Bangga banget kak, walaupun baru dilantik dan belum tau rasanya jadi relawan." sahut Ayana antusias.

"Mau jadi relawan?" sambung Aditya.

"Iyalah. Kalau anak PMR, harus jadi relawan dong," Zivanya mengiyakan perkataan Ayana.

"Aku cerita dikit nih ya-," Zivanya membenarkan posisi duduknya. "Jadi, waktu aku SMP itu ikut PMR trus karena saking cintanya sama PMR lanjut sampe SMA." katanya mulai bernostalgia. "Waktu SMA kelas satu, aku dipilih diklat satin sama satin sebelumnya. Dan bangga banget, bisa jadi kelas sepuluh satu-satunya yang di diklat. Selesai diklat, aku ikut banyak lomba PMR, yang diadain sama Universitas-Universitas negeri maupun swasta. Ya, berkat ketekunan aku, aku bisa jadi juara di hampir semua Universitas yang aku ikutin lombanya. Dan beberapa bulannya, aku terjun langsung jadi relawan. Walaupun cuman disuruh nyatet korban longsor ataupun banjir, tapi aku tetep bangga. Sampe akhirnya lulus SMA, banyak Universitas yang ngasih aku undangan buat masuk disana. Aku sempet pusing gitu, soalnya bingung mau masuk kemana. Sampai akhirnya, aku pilih di Lentera Nusantara juga sih, sama kayak SMAnya. Disitu, aku jadi KSR dan sekarang jadi relawan yang sesungguhnya."

"Wihh, hebat ya kak." Ayana bertepuk tangan, mengagumi Zivanya. Ayana kira, Zivanya adalah perempuan yang hanya modal tampang, untuk mendekati Aditya dan ingin memanfaatkan Aditya untuk kepentinganya sendiri. "Kak Anya kenal kak Adit dimana?"

Saat Zivanya akan menjawab pertanyaan Ayana, ponsel Zivanya berbunyi, sebuah panggilan masuk.

"Iya, hallo selamat siang Ibu-," Zivanya membalas salam.

"..."

"Terkait status awas, Gunung Agung? Loh, bukannya sudah diturunkan levelnya? Saya belum dapat info tentang itu..."

"..."

"Iya, baik, Bu. Nanti sore saya ke markas, selamat siang Ibu. Happy Sunday," kata Zivanya sebelum menutup sambungan teleponnya.

"Kenapa beb?"  tanya Aditya pada Zivanya.

Ayana yang mendengar Aditya memanggil Zivanya seperti itu, tersedak air mineral. Airnya masuk kehidung Ayana dan membuat Ayana meringis, merasakan sakit sekaligus perih. "Huk... huk... huk..."

Zivanya langsung memberikan Ayana sekotak tissue lalu berkata, "kalau minum itu jangan buru-buru. Kemasukan air kan, jadinya."

Ayana yang langsung mengusapkan tissue itupun terkekeh. "Ehem... Ngegas gitu ya, manggilnya."

Tetapi, Aditya menghiraukan Ayana dan lebih memilih bertanya seperti lagi pada Zivanya.

"Kata Ibu Asri—staff PMI di kotanya, nanti sore aku mau ke posko pengungsian, buat bantu-bantu." ujar Zivanya pada Aditya.

"Aku boleh ikut kak?" tanya Ayana ragu-ragu, takut jika Zivanya tidak mengizinkannya.

"Boleh kok Na, boleh banget." sahut Zivanya.

Satu SMAWhere stories live. Discover now