Chapter -2- Meet (2)

1.1K 51 0
                                    


Mega Pov

"Azka bunda datang!!!"

Suara jeblakan pintu mengagetkanku dan Azka pasienku yang sedang asik ngobrol. Membuatku membeku saat mengenali siapa yang sudah mengagetkan kami. Mataku tak pernah lepas dari sosok mungil itu.

"Azka, bunda baru tinggal seminggu kamu sudah begini. Jangan-jangan kamu makan sembarangan ya?"

Jadi diakah bunda yang selalu diceritakan Azka? Ibunya?

Sudah 2 hari ini Azka menjadi salah satu pasienku. Yah bisa dibilang Azka sedikit berbeda dari pasien-pasien lain, bukan maksudku untuk membeda-bedakan, hanya saja Azka terlihat berbeda. Aku suka anak-anak, makanya aku mengambil Spesialis anak, tapi kebanyakan pasienku yang seumuran dengannya terlihat cengeng, dan rewel. Wajar namanya juga anak-anak. Tapi Azka di usianya yang baru 7 tahun, dia terlihat dewasa. Dia tampak tenang saat di pasangkan jarum infus, sabar menerima berbagai macam obat yang harus di suntik maupun diminum, tenang mengikuti berbagai observasi yang harus di lakukan, tak pernah sedikitpun menangis.

Setelah sedikit mengobrol dengan orang tuanya, wajar saja Azka terlihat dewasa, ini effek dari kesibukan orang tuanya, yang satu wanita karir, dan yang satunya sedang menuntut ilmu ke luar negeri. Hal itulah yang menyebabkan Azka tumbuh dewasa dan mandiri. Mengingatkanku pada seseorang yang kukenal dulu.

Selama dua hari ini, diatara sift dan tugasku, aku menyempatkan diri untuk mengobrol dengan Azka. Seperti sekarang, jadwal kerjaku sudah habis, harusnya aku sudah pulang sejam yang lalu, tapi karena saat mengecek kondisi Azka siang tadi, tanpa sengaja aku mendengar jika Mama Azka harus segera kembali ke tempat kerjanya, entah ada masalah apa aku tidak paham, ditambah lagi, seseorang yang katanya akan datang menjenguk Azka belum datang juga, aku menawarkan diri untuk menjaga Azka. Entah dari mana niat itu muncul.

Azka terlihat senang akan kedatangan orang ini, seseorang yang dia panggil Bunda. Dia bercerita berbagai macam hal semua tentang bundanya. Bunda yang ingin Azka menjadi seorang dokter, bundanya yang ceroboh, bundanya yang super cerewet, bundanya yang cengeng kalau nonton sinetron Korea yang sedih-sedih, bunda inilah, bunda itulah.

Awalnya aku bingung, karena Azka memanggil wanita yang selama ini merawatnya dengan panggilan Mama, jadi aku simpulkan bahwa dia adalah ibu kandungnya. Tapi begitu dia bercerita tentang bundanya, membuatku bingung. Karena respon Azka terhadap Mamanya biasa saja, tapi jika tentang bundanya, takut jika bundanya khawatir mengetahui dia tiba-tiba pingsan di kelas, membuatnya tampak murung.

Jadi aku simpulkan, mungkin Bunda inilah Ibu kandung Azka, sedangkan wanita yang dipanggilnya Mama, mungkin saja bibinya yang biasa dia panggil Mama.

Aku semakin membeku, melihat air mata yang tiba-tiba mengalir dari wajahnya, saat tahu keadaan putranya yang walaupun terlihat sehat, tapi wajahnya cukup pucat. Berbagai macam pikiran berputar-putar di kepalaku. Gadis itu bunda Azka adalah Yuki Chandra, seseorang dari masalaluku.

"Azka sudah sehat kok, Bun!" kata-kata Azka lembut serta gerakan menghapus air mata di wajah Yuki, meyakinkanku, jika dia adalah putra Yuki "Azka nggak jajan sembarangan seperti pesen bunda, Azka juga selalu menghabiskan makanan yang BukMan buatin. Azka nurutin semua pesen bunda, sebelum bunda pergi!"

Azka tidak pernah terlihat sesedih itu disamping wanita yang dipanggilnya Mama, tapi di depan Yuki, dia terlihat berbeda, manja seperti anak-anak lainnya ketika ibunya datang. Dia memang putra Yuki.

Perhatian Yuki teralih saat dia sadar ada aku disini, berbalik saat ingin menyapaku, matanya membulat kaget mengenaliku, bisa kulihat senyumnya yang perlahan memudar. Sesaat tidak ada yang terjadi kami hanya saling berpandangan. Matanya terlihat bingung, ada raut kaget dan juga takut. Itu menyakitkanku. Tidakkah dia senang melihatku?

Sampai...

"Bunda..." panggil Azka menarik tangan Yuki, tangan yang semula menggenggam jeruk yang kini jatuh entah dimana.

"Ya sayang, Azka-nya bunda mau apa?" perhatian Yuki teralih, begitu juga aku, kami sama-sama memandang Azka, tapi ada sesuatu yang mengganjal di hatiku.

"Bunda kenali deh, ini dokternya Azka, namanya dr. Megadhana" ujar Azka menghilangkan kecanggungan kami "Dokter ini bunda Azka!"

"Yuki"

"Mega"

Kami bersalaman seolah-olah ini pertamakalinya kami bertemu. Dan aku sedikit kecewa melihat dia seolah-olah tidak mengenaliku lagi, perhatiannya tertuju hanya pada Azka, dan ganjalan di hatiku semakin besar.

"Bunda! Jeruk...." Rengek Azka manja. Yuki hanya membalas dengang senyuman dan belaian lembut di kepala Azka, berjongkok mengambil jeruk di bawah ranjang Azka.

"Azka saya yang jaga, toh dokter pasti masih banyak kerjaan." ujar Yuki tiba-tiba setelah berhasil menemukan buah jeruk yang jatuh tadi, dia bahkan berbicara tanpa memandangiku. Aku kecewa.

"Nggak masalah, sift saya sudah habis dari tadi, makanya saya bisa disini jaga Azka, lagian saya sama Azka masih belom selesai ngobrol. Iya kan Az?" bisa saja aku pergi dari sini, toh jam kerjaku sudah berakhir tadi. Tapi entah kenapa, aku masih ingin berlama-lama disini, walaupun ganjalan yang sudah aku rasakan dari tadi semakin terasa berat.

Azka kembali berceloteh melanjutkan ceritanya yang terhenti tadi, menceritakan kegiatannya di sekolah, pengalamannya bermain game online, cita-citanya yang sebenarnya ingin jadi pilot bukan dokter.

"Bunda pengen Azka jadi dokter, tapi Azka pengennya jadi pilot..." ujar Azka setelah menelan roti sobek keduanya.

"Azka!" tegur Yuki, rupanya obsesinya tentang dokter belum hilang juga.

Sejak kami mengobrol tadi, tidak sekalipun dia ikut bergabung, walaupun beberapa kali Azka menariknya bergabung dalam obrolan kami, tapi dia hanya menjawab sekedarnya saja. Hanya kami berdua yang saling bercerita. Sedangkan Yuki sibuk dengan bawaannya, memotong buah untuk Azka, menata buah di keranjang mengikat balon di kedua sisi ranjang Azka. Mataku mau tak mau terus memperhatikanya, berusaha menyimak cerita Azka.

Terkadang sikap lembutnya pada Azka menggangguku. Tapi bukan berarti tiba-tiba aku jadi tidak menyukai Azka, hanya saja pikiran dikepalaku menggangguku.

"Iya kak?" sebuah panggilan telpon yang diterima Yuki, mengalihkan perhatian kami. Setelah berbicara beberapa saat, dia menyerahkan ponselnya kepada Azka "dari papa, sayang!" katanya lembut.

"Saya permisi kalau begitu!" ujarku mendadak bangkit dari sofa ruangan VIP ini. Tanpa menunggu jawaban, aku berjalan meninggalkan ruangan itu, dengan banyak pertanyaan dipikiranku, dan ganjalan yang membuatku tidak nyaman.

Masalaluku itu tidak akan bisa menjadi milikkulagi.

I Love You DocterWhere stories live. Discover now