19. Untuk yang Tersayang.

611 82 0
                                    

Seperti hujan di malam hari,
Air berderak mengalun bersama atap. Tak lupa dingin hawanya yang berselimut kabut.
Membuat gemeletuk tulang saling bersua, di hari yang pekat tanpa matahari.

***

Mobil berwarna silver itu menepi didepan sebuah rumah sederhana ditepi danau, setelah melewati jalanan kecil yang berkelok mereka sampai ditempat tujuan.

Alqyra menatap rumah yang terbuat dari kayu itu, tangannya meremas mantel wol yang ia kenakan. Perasaannya campur aduk saat ini antara senang dan gugup, gadis itu telah menaruh harapan penuh sampai sejauh ini. Dia takut harapan itu pudar oleh keadaan yang berbalik.

Syakhil yang pertama mengetuk pintu bercat putih dihadapannya. Dua kali ketukan tidak ada yanng menyahut. Sampai pada ketukan ketiga, perlahan pintu itu terbuka.

Alqyra bergeming di tempatnya berdiri saat ini. Melihat seorang laki-laki paruh baya, bertubuh tegap namun agak kurus. Matanya berwarna toska, sama seperti matanya yang hijau kebiruan.

Sementara Orang itu memandang satu persatu tamu yang sebagian banyak tidak dikenalinya. Tapi ada satu, pria diujung sana yang terlihat lebih tua dari sebelumnya.

"Assalamu'alaikum..." Syakhil mengambil alih keadaan yang terasa canggung.

"Wa'alaikumsalam..." suara yang empuk, terdengar tulus.

"Be- benarkah.. anda Mr. Vaughn?. Damian Agler Vaughn?." Suara Alqyra tercekat di tenggorokan. Matanya memanas, mau menangis.

"Tidak perlu ditanya lagi, dialah orangnya. Yang selalu kau cari selama ini, nak." Mr. Grish menatap penuh arti sahabat lamanya. Damian tengah memakai topeng yang tidak pernah ia tampakkan sebelumnya. Wajah yang mengeras itu sebenarnya terlalu rapuh untuk sekedar disentuh. Karena Grish tahu, apa yang akan terjadi jika Damian luluh saat ini. Lebih baik menyakiti perasaan putri kecilnya, dari pada menghilangkan nyawa anak gadisnya.

"Apa maksud kalian?." Laki-laki paruh baya itu bertanya dengan nada datar. Tatapan matanya lebih menunjukan kegelisahan, dan hal itu yang Alqyra takutkan sedari tadi.

"Dia putrimu Damian. Bahkan kau tidak mau menyambut sahabat lama mu ini?." Sulit diartikan, Grish tidak bisa menampik risau-nya meski dia tahu bahwa ini hanyalah skenario yang yang tengah dimainkan apik oleh sahabat lamanya. Tapi hatinya memberontak akan perlakuan dingin Damian kesemua orang, lebih tepatnya dia takut jika Damian berubah menjadi sedingin gunung es di kutub utara.

"Aku tidak memiliki seorang putri." Damian memalingkan wajah saat mengatakan hal itu. Tidak sanggup melihat bulir bening mengalir dari mata indah putrinya. Putri yang selalu dia rindukan, yang selalu dia mimpikan rupanya sepanjang malam. Dan ternyata mimpinya selama ini salah, putrinya lebih cantik dari apa yang dia bayangkan selama ini.

Alqyra mencoba tegar, meski begitu sulit. Gadis itu menarik nafas dalam, mengaturnya agar dapat kembali bernapas normal. Meski sesak itu semakin mendesak, tapi Alqyra terus mencoba agar terlihat baik-baik saja. Tangannya terulur menghapus bulir air mata dipipinya, perlahan dia menyunggingkan senyum. Mengikuti permainan yang menghimpit perasaannya.

Alqyra menangkupkan kedua tangannya didepan dada.
"Saya Alqyra, Alqyra Syeenan Vaughn. Mr. Muhammad. Senang bertemu dengan anda."

Jantung Damian serasa direnggut paksa mendengar kata itu, dia terjebak dalam permainannya sendiri. Putri nya bahkan menangkupkan tangannya disaat seharusnya dia bisa merengkuh putrinya itu dalam dekapannya. Tapi pantaskah?. Damian merasa terlalu banyak menyakiti gadis malang itu, dia sudah tidak pantas disebut sebagai seorang ayah. Tapi satu hal yang membuatnya bertanya. Putrinya berjilbab. Mimpi apa dia semalam? Bagaimana bisa anaknya memakai kain penutup itu? Disaat seharusnya dia bersama dengan Amoral didalam gereja untuk kebaktian.

Ja, ich bin ein MuslimWhere stories live. Discover now