11. Sebuah Kisah

771 83 3
                                    

Ombak akan selalu memecah karang, tapi karang tak pernah membalas ombak.
Belajar dari keduanya, maka hidup akan lebih indah seindah lautan di batas bumi

***


Benar kata orang, melihat bintang dilangit mampu mengurangi kesedihan dihati. Alqyra, gadis itu menatap tak percaya lelaki yang tengah menengadah ke atas langit menatap bintang diatas sana, Lelaki yang tengah berdiri berjarak satu meter darinya ini. Bagaimana bisa Syakhil selalu ada menemaninya disaat dia membutuhkan seseorang sebagai teman?. Diatas jembatan Oberbaum ini, kisah itu mengalir dengan sendirinya.

"Kenapa kau ada disana?."

"Ayahku salah satu kolega Mr. Lewis, aku menggantikannya ke sini. Kau tahu? ayahku tidak suka dengan pesta. Dimana banyak pasangan tanpa ikatan menari di lantai dansa dan secangkir wine sebagai teman berbicara."

"Dan kau menyukainya?."

Menatap Alqyra sekilas, Syakhil kembali berkata.
"Aku hanya menuruti keinginannya, hanya itu."

"Kau cukup dekat dengan Mr. Abdiel."

"Tentu saja, dia orang yang telah merawatku."

"Kau pasti sangat menyayangi Ayahmu."

"Aku sudah bilang bukan? Dia yang telah merawatku, sudah seharusnya aku menyayanginya."

"Bukan. Bukan Mr. Abdiel, tapi ayahmu yang sbenarnya."

Sepi melanda begitu saja saat kalimat itu terucap. Ramai lalu lalang di sekitar seakan tak terdengar, terhalang oleh bayangan masa lalu yang memilukan. Syakhil, pemuda itu bergeming ditempat, bagaimana bisa gadis itu tahu? Tidak pernah sama sekali dia bercerita atau bahkan mengucapkan nama ayahnya setelah kejadian lima tahun silam. Baginya menyebut nama Vatter hanya akan mengorek luka lama.

"Kenapa..." kata itu menggantung, Syakhil kembali mengatupkan mulutnya. Memandang tak mengerti gadis di sebelahnya.

"Kau sendiri?, kau pasti sangat merindukan Ayahmu."

Alqyra tersenyum mengerti, Syakhil memang gemar memutar arah pembicaraan. Satu fakta yang ia tahu saat ini. Namun Alqyra tetap menjawabnya, mengikuti haluan yang baru saja diputar oleh sang nahkoda. Mungkin dengan membagi sedikit kisahnya rasa sesak itu dapat sedikit terangkat dari dadanya.

"Tentu saja, kau tahu? Sejak kecil aku belum pernah melihatnya, bahkan selembar foto pun aku tidak punya. Apakah dia masih hidup? ..." Qyra menjeda kalimatnya, menggeleng lemah menjawab pertanyaannya sendiri.

"Aku tidak tahu, mutter tidak pernah sekalipun bercerita tentangnya. Jangankan bercerita, pernah suatu waktu aku bertanya tapi hanya makian yang terucap. Tapi aku tidak pernah membenci keduanya, apapun tuduhan yang mutter katakan menurutku semua itu karena rasa sakitnya. Terakhir pembicaraan tentang vatter adalah saat aku mengikuti jejaknya menjadi seorang mualaf."

"Lalu bagaimana jika dia masih hidup?."

"Itu akan sangat menyenangkan. Dan jika itu benar, aku ingin bertanya apakah dia memiliki kebeiasaan yang sama denganku?. Kau tahu Syakhil? Bahkan semu kebiasaanku menurun dari mutter, lalu bagaimana bisa aku menemukan ayahku dengan mudah?." Kalimat panjang yang bahkan Alqyra sendiri menganggapnya bagai angin lalu. Dia tersenyum, jenis senyum yang sulit diartikan.

"Tapi ada satu kebiasan yang ada pada diriku, namun tidak mutter miliki. Mungkin kebiasaan yang menurun dari Vatter. Apa menurutmu itu mungkin?." Ucapnya masih dengan nada lelucon, ya! Karena apa yang baru saja ia katakan memanglah hanya dianggap sebagai gurauan semata. Tapi tanpa dia sadari, Syakhil menatapnya penuh arti. Lelaki itu tahu makna apa yang tersirat dalam ucapannya, tentang seorang anak yang merindukan ayahnya.

Ja, ich bin ein MuslimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang