14. Sebuah Jawaban

671 80 1
                                    

Seperti pusaran angin di gurun sahara, yang gersang dan kering menatap fatamorgana.
Ada kala surga seperti neraka, dikala hati dirundung nestapa.

***

Malam terakhir di flat 201, Alqyra membenahi semua barang-barangnya. Tempat kecil ini memang tidak senyaman rumahnya, tapi memiliki kehangatan yang tidak ia temui di rumahnya sendiri. Mutter terlalu sibuk dengan butik yang dia miliki, hanya sedikit waktu yang ia punya untuk Alqyra.

Semua barangnya sudah dia beresi, tidak banyak hanya setumpuk pakaian dan beberapa buku. Tersisa satu agenda yang masih tergeletak diatas meja, dia belum membacanya. Sore tadi Syakhil memberikan agenda itu untuknya.

Rasa penasaran membuat Alqyra mengambil agenda itu, beranjak dari karpet menuju sofa kecil didekat perapian. Duduk bersandar dan mulai membacanya, di luar langit sudah gelap. Udara musim dingin sudah mulai terasa diakhir musim gugur. Dinginnya hari akan kembali ia sambut.

Lembar demi lembar ia baca dengan seksama, dengan pencahayaan yang sedikit temaram. Hanya sinar dari api yang membakar kayu menjadi penerang.

Bola matanya bergerak lincah membaca kata demi kata disana, sampai mata hijau itu terhenti pada saat retina matanya menangkap sebaris nama yang mengganjal.

Alqyra Syenan Vaughn ...

Ya! Namanya tertera pada lembaran itu, membuat keringat dingin merembes keluar disetiap pori telapak tangannya. Siapa Muhammad Vaughn?

Mungkinkah?

Tanpa menunggu lama, Alqyra segera mendial nomor seseorang. Siapa lagi jika bukan orang yang memberinya agenda ini.

Dengan dada yang bergemuruh, dan sesak yang entah dari mana mendesak paru-paurunya membuat pasokan oksigen yang ia butuhkan semakin banyak. Nada sambung kedua masih belum ada jawaban, setiap bunyi yang terdengar terasa begitu lama. Waktu disekitarnya berjalan lambat, barulah setelah nada sambung berikutnya suara di seberang sana terdengar.

"Assalamu'alaikum ..."

"Wa'alaikumsalam ..." suaranya terdengar bergetar, sama seperti tubuhnya yang mengigil.

"Kau baik-baik saja?." Alqyra menghiraukan pertanyaanya. Karena memang dia sedang tidak baik-baik saja saat ini.

"Bisakah kita bertemu?."

"Apa ada masalah?."

"Aku tahu ini sudah larut, dan tidak pantas seorang pemuda dan perempuan bertemu pada jam seperti ini. Tapi aku harus memastikan sesuatu, tidak bisa dibicarakan dalam telpone."

Syakhil tahu, dia bisa menebak apa yang terjadi. Semua ini memang ulahnya, dan dari awal dia sudah sadar bagaimana reaksi gadis itu saat membaca agenda Muhammad Vaughn.

***


Terdapat jeda yang cukup lama saat keduanya memasuki ruangan ini, tempat yang hangat dan cukup luas. Kafe Ali, tepatnya disebuah ruangan di kafe itu.

"Muhammad Vaughn, apa mungkin ..."

"Kau benar, kemungkinan besar dia ayahmu."

Ja, ich bin ein MuslimWhere stories live. Discover now