15. Sajak tak Bertuan

664 81 8
                                    

Malam kelam yang selalu kalian rindukan..
Dimana tetesan Darah menguar merasuk penciuman...
Saat-saat yang berkesan,
Jauh dekat mata melihat, jerit tangis menahan lara.
Bukalah kembali pintu itu,
Mengulang semua kenangan lama, ditempat para kurcaci melakukan persembahan, untuk tuan putri.

***

"Baiklah, beri aku lima menit. Iya ... iya Carol, aku akan tiba secepatnya."

Dengan susah gadis itu berjalan cepat, kedua tangannya yang memegang setumpuk buku dan sebuah tas yang ia selempangkan di tangan kiri membuat gadis itu harus menjepit benda persegi yang tengah menyambungkan panggilan dengan seseorang diserang sana diantara pipi dan bahunya. Tangannya sibuk mencari selembar kertas yang terselip dalam tumpukan buku tebalnya. Sebuah alamat rumah.

Harusnya dia pergi kesana dengan Caroline dan Seera, tapi panggilan dosen mengharuskannya menyusul kedua orang itu. Sementara disatu sisi dia yakin, Aisye, Ali, dan Syakhil pasti sudah berada disana. Di alamat yang tengah ia cari, dimana seseorang telah menunggu lama.

Brukk!...

Fokusnya yang terbagi pada dua hal sekaligus membuat keseimbangan tubuhnya berkurang, tak sengaja seseorang yang dia tidak tahu siapa menabraknya. Membuat semua barang yang ia bawa terjatuh bersama tubuhnya yang ikut mencium tanah. Membuatnya meringis kesakitan.

"Kau tidak apa nak?." Suara berat yang terdengar menenangkan itu milik seseorang yang tengah berdiri menatapnya. Lelaki paruh baya itu mensejajarkan tubuhnya dengan Alqyra, membantu merapikan buku yang berserakan.

Kejadian yang cukup cepat, karena setelahnya dia membantu gadis itu berdiri seraya memberikan tumpukan buku tebal pada siempunya.

"Lain kali kau harus lebih berhati-hati."

Alqyra. Gadis itu masih mematung ditempatnya berdiri saat ini, entah hal apa yang membuatnya seperti manekin di etalase toko. Suara itu mengingatkannya dengan seseorang, yang sama sekali belum pernah ia temui. Akankah ayahnya memiliki suara yang lembut seperti orang tadi?

Ingatannya kembali pada hari itu, dimana untuk pertama kalinya mutter mau bercerita tentang ayahnya.

"Dia orang yang sangat baik, Alqy. Alasanku tidak pernah menceritakannya padamu karena sakit itu masih kurasakan setiap kali mengingat sosoknya. Dia orang yang berjiwa toleransi tinggi, dia mau bergaul dengan siapapun. Ayahmu memiliki banyak sekali teman, saat berbicara suaranya sangat berwibawa namun penuh ketulusan. Tapi suatu ketika, dia menyatakan diri sebagai seorang muallaf tanpa persetujuanku. Aku marah dan tidak dapat menahan rasa kecewaku padanya, kau tahu? Paman yang membesarkanku tewas dalam tragedi WTC. Aku amat terpukul dengan keputusan ayahmu, dia memilih jalan yang sama dengan para teroris itu."

Amoral menjeda kalimatnya, tatapannya menerawang pada masa-masa menyakitkan itu terjadi.

"Karena benci yang menumpuk aku memintanya pergi, bahkan tanpa surat perceraian. Sejak saat itu aku tidak pernah bertemu dengan ayah mu lagi, terakhir aku melihatnya bersama seorang wanita yang memakai pakaian seperti yang kau kenakan saat ini. Hari dimana aku memintanya pergi, di stasiun kereta. Dan sejak saat itu, aku benar-benar membenci hidupku sendiri."

Ja, ich bin ein MuslimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang