Aurora - 32

28.3K 6.8K 735
                                    

Yang gue benci dari pertemuan kali ini adalah laptop gaming milik Loey. Sumpah demi apa pun, gue ingin sekali memusnahkan benda itu dari hadapan gue. Tadinya khayalan gue indah, tinggi.... Sangat tinggi pokoknya. Ternyata realita tak seindah ekspektasi. Ujung-ujungnya gue terabaikan oleh Bryan hanya karena game di laptop. Ini semua membuat gue jadi menyesal karena telah menyetujui usulnya untuk bertemu di apartemen Loey. Gue lupa kalau kedua manusia itu suka lupa lingkungan kalau sudah bertemu. Dan satu lagi, gue lupa fakta bahwa Loey dan Bryan sama-sama suka game. Orang bilang, seorang gamer itu setia. Setia sih.... Tapi kalau dicuekin seperti ini ya nggak lucu juga. Menyebalkan? Iya!

Cowok lo gamer terus ketemu sesama gamer? Kelar idup lo!

Gue duduk di sofa dengan wajah tertekuk. Suara teriakan heboh Bryan dan Loey membuat kuping gue berdenging. Sudah setengah jam mereka berkutat dengan game. Sampai kapan gue terabaikan seperti ini?

"Hhhh...." Gue bangkit dari sofa. Dengan hati-hati, gue menghampiri Bryan dan berkata, "Bryan, aku mau pulang."

"Uhm." Dia hanya menggumam dengan mata tak lepas dari layar laptop dan tangan masih sibuk memainkan joystick.

"Bryan, aku pulang duluan. Sudah malam," ulang gue agak keras.

"Ya! Ya! Hati-hati! Ah! Sial!"

Hhh! Inilah susahnya bicara dengan gamer yang keasyikan dengan dunia game-nya. Gue baru saja akan mengulangi kalimat gue, tapi tertahan dengan teriakan heboh Loey.

"Ya! Ah! Sedikit lagi! Hah! Mati kau! Hahaha!!!"

"Coba saja! Aku akan menang!" Bryan menyahut nggak mau kalah.

Gue memutar bola mata dengan malas. Sepertinya gue ulang pun percuma. Akhirnya langkah gue terayun menuju pintu seraya mengenakan masker dan topi. Gue berencana untuk pulang, tanpa menunggu mereka selesai main. Capek hati gue. Buat apa gue pamit lagi? Paling-paling juga hanya dijawab dengan gumaman. Gue sudah hapal kebiasaan para gamer karena dulu gue juga seorang gamer.

Akhirnya gue melangkah keluar dari gedung apartemen dengan hati kecewa. Dengan galau, gue berjalan menyusuri trotoar. Gemerlap indah Kota Seoul seolah sudah nggak menarik hati gue saat ini. Kekecewaan telah membuat hal indah menjadi sendu di mata gue. Sejenak langkah ini terhenti. Gue menatap poster besar yang memajang foto Sean di tepi jalan.

Salah nggak kalau gue berharap Bryan itu mencurahkan perhatiannya penuh seperti bagaimana Sean memperlakukan gue? Kalau benar dia merindukan gue, kenapa nggak berusaha menemui gue seperti Sean yang nekat ke apartemen? Kenapa justru Sean yang terlihat rela melakukan apa pun demi gue?

"Daripada melihat poster, lebih baik melihat aslinya, kan?" ucap seseorang.

Gue menoleh dan melihat Sean berdiri di belakang sana. Dia sama seperti gue: memakai masker, topi, dan jaket.

"Kau mengenaliku?" tanya gue pelan.

"Tentu saja aku mengenali gadis yang kusuka."

Gue tersenyum kecil. "Kenapa aku tidak terkejut ya kau belum pulang?"

"Aku memang belum pulang. Karena kau menolakku, jadi terpaksa aku makan sendirian di sekitar sini," jawab Sean santai.

"Maaf."

"Aku maafkan kalau kau mau kuantar pulang."

Kali ini gue nggak berusaha menolak niat baik Sean. Gue terlanjur kecewa dengan Bryan yang lebih memilih bermesraan dengan game daripada gue. Padahal dia yang meminta gue datang, tapi dia juga yang mengabaikan gue. Sebenarnya dalam situasi normal, gue nggak akan mempermasalahkan itu. Sayangnya, situasi sekarang berbeda. Hubungan gue dan dia sedang rapuh. Ditambah lagi, sudah dua minggu kami nggak bertatap wajah. Sudah semestinya kan dia menyediakan quality time untuk gue? Tapi nyatanya? Siapa yang nggak kecewa dengan situasi seperti ini?

Gue duduk manis di dalam mobil Sean yang tengah melaju. Hening. Bermenit-menit berlalu, namun tak ada suara musik atau obrolan. Gue nggak berminat bicara. Tapi kedua mata gue mencuri-curi pandang ke arah Sean.

"Kenapa? Aku tampan?" Sean tersenyum simpul sambil fokus pada jalanan.

"Itu pertanyaan retoris, Sean."

"Lalu?"

"Tidak. Aku hanya ingin berterima kasih karena kau sudah banyak membantu remah-remah kue ikan sepertiku," jawab gue lalu melempar pandangan lurus ke depan.

"Sudah kewajibanku. Tidak usah dipikirkan."

Senyum gue terkembang karena memikirkan sesuatu. Biasanya orang tampan itu yang sedikit tinggi hati dan player. Tapi berbeda dengan Sean. Terlepas dari sikapnya yang sempat menikung sahabatnya, Sean memang memiliki hati yang baik. Ketampanan yang berbanding lurus dengan karakter dia yang mampu membuat hati para gadis meleleh. Ah, beruntunglah siapa pun yang kelak jadi pasangannya.

"Au, sudah sampai," ucap Sean.

Gue menghela napas sambil melepas seatbelt. Tapi gue nggak langsung turun karena Sean menatap gue lama. Gue sampai bingung harus bersikap bagaimana. Tatapan dia membuat gue salah tingkah.

"Kenapa melihatku seperti itu?" tanya gue bingung.

Sean nggak menjawab. Tiba-tiba tubuh ini tersentak dan masuk ke dekapannya yang membuat gue terkejut setengah mati!

"Jangan menghindar. Ini salam perpisahan dariku," ucap Sean pelan.

Dua kalimat yang menyesakkan rongga dada gue. Kenapa hati ini sakit mendengar kata perpisahan itu? Nggak seharusnya hati gue nyeri begini. Nggak sewajarnya gue sakit. Sean bukan siapa-siapa gue. Tapi kenapa?! Apa gue hanya takut kehilangan sumber perhatian?

"Maaf karena aku sempat egois. Aku hanya memikirkan kebahagiaanku sendiri sampai-sampai aku menghancurkan kebahagiaan orang lain. Aku baru tahu kalau mencintai seseorang bisa membuatku jadi sejahat ini," tutur Sean sebelum melepas pelukannya. Dia kembali tersenyum. "Hati-hati. Aku doakan yang terbaik untuk hubunganmu dengan Bryan."

Gue tertohok. Hati gue ngilu bukan main dengan situasi ini. Tenggorokan gue tercekat. Mata ini berkaca-kaca. Entah mendapat keberanian dari mana, gue memeluk Sean.

"Maaf, Sean.... Maaf," bisik gue dengan air mata yang mulai meleleh. "Aku menyukaimu.... Tapi maaf...."

Lengan Sean kembali melingkar di tubuh ini. "Jangan mengatakan apa pun lagi. Kau hanya akan membuatku sulit melepasmu."

"Maaf...."

"I'm okay...."

Pelukan ini menguat.

Sama kuatnya dengan tangis yang semakin menyiksa.

Hati ini suram.

Sama suramnya dengan langit malam ini.

🍃🍃🍃

Berkali-kali gue menguap di tengah kuliah umum siang ini. Ceramah dosen bak hembusan angin bagi gue. Hanya lewat sekilas saja tanpa ada sesuatu yang spesial. Lirikan mata gue mengarah ke Lisa. Ternyata bukan hanya gue yang bosan setengah mati. Sahabat gue itu pun bosan minta ampun. Malah sepertinya dia lebih bosan daripada gue. Terbukti dari lagak dia yang diam-diam merogoh ponsel dalam tas, lalu sibuk dengan benda itu. Kalau gue lebih suka melamun, melayangkan pikiran ke Indonesia. Gue rindu masakan ibu. Gue rindu diajak mancing sama ayah. Gue rindu main di tengah sawah bersama adik laki-laki gue.

Lisa menyenggol lengan gue. Lamunan tadi buyar.

"Apa?" tanya gue pelan.

"Ada foto lo sama Sean di internet," jawab Lisa pelan.

Mata gue nyaris melotot. Gue segera mengambil ponsel Lisa untuk membuktikan perkataannya. Dalam sekejap tubuh gue dingin. Tangan gue gemetar.

"Ini...."

Seketika kaki gue lemas. Itu foto semalam, foto pelukan gue sama Sean....

Publik memang belum tahu kalau gue dan Sean sudah mengakhiri semuanya. Jadi bagi mereka itu nggak akan jadi masalah karena gue dan Sean memang punya hubungan khusus di mata mereka. Tapi masalah terbesar bagi gue adalah Bryan. Ini salah.... Sangat salah! Kesalahan fatal karena gue terlanjur bilang ke Bryan kalau gue telah mengakhiri sandiwara itu. Apa yang harus gue katakan pada Bryan?

-Bersambung

Fangirl TaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang