Aurora - 10

60.2K 8.7K 550
                                    

"Lo serius mau resign?!"

Lengkingan suara Lisa membuat gue mengangguk males. Lisa hanya bisa menggeleng-geleng kepala, mungkin nggak habis pikir dengan keputusan gue untuk resign di saat dompet gue sedang paceklik.

Lisa menunjuk baju gue dengan heran.

"Ini piyama siapa? Baju lo mana? Kenapa lo balik pake piyama doang?" Selidikan Lisa dimulai lagi.

Gue mendesah kecil. "Baju gue ketinggalan di kamar Bryan. Gue—"

"KOK BISA?!" Lisa melotot.

Gue nggak menjawab dan memilih bergelung dengan selimut. Tapi Lisa menyingkap selimut gue.

"Lo ada masalah sama Bryan? Cerita sama gue," kata Lisa melembutkan suara.

Gue menghela napas.

"Hari ini, dia meluk gue di kasur. Iya, gue tau dia lagi ngigo. Tapi kan dia nggak perlu sekasar itu sama cewe unyu kayak gue. Masa gue didorong pas dia bangun," tutur gue dengan hati sesek.

Lisa mengangguk-ngangguk dengan lagak memahami gue.

"Terus lo mau resign? Gitu?" tanya dia lagi.

"Harga diri gue, Sa...," sahut gue pelan. "Sekarang bayangin, lo naksir cowok tapi cowok itu malah ngebanting lo di depan temen-temennya. Dan ngebantingnya itu nggak pelan, Sa.... Sakitnya masih kerasa banget. Belum lagi, gue panik setengah mati tadi pas dia meluk gue. Gue ketakutan...."

Lisa mendecak mendengar penuturan gue. "Bryan udah minta maaf. Dia meluk dan ngebanting lo juga nggak sengaja, kan? Pikirin baik-baik. Ini di negara orang. Susah nyari kerjaan. Elo bilang nggak mau terus-terusan ngrepotin nyokap lo, kan?"

Gue terdiam.

Lisa melanjutkan nasihatnya. "Tapi terserah elo sih. Gue cuma mau lo berpikir baik-baik."

Kalimat itu membuat gue merenung. Di luar kejadian hari ini, sejak kemarin-kemarin gue memang sudah berpikir untuk resign karena alasan pribadi. Lebih tepatnya ini berkaitan dengan masalah hati gue. Gue nggak mau terus-terusan berada di dekat seseorang yang mustahil gue raih. Gue nggak mau sakit terlalu dalam. Sebelum perasaan gue ke Bryan semakin jauh, sepertinya ini memang langkah terbaik buat gue.

Gue menarik napas dalam-dalam. Saat hembusan karbondioksida keluar dari hidung ini, rasanya separuh beban gue ikut terbuang.

"Gue tetep mau resign. Gue bikin suratnya sekarang juga dan bakal gue serahin pagi ini juga."

🍃🍃🍃

Gue pikir Bryan akan mengirim pesan atau minimal menghubungi gue untuk meminta maaf. Tapi ternyata nggak sama sekali. Itu semakin membuat gue bertekad untuk resign. Surat resign gue sudah siap. Gaya bener gue. Kerja jadi pembantu aja sok-sokan pake surat resign.

Pukul sembilan pagi ini, gue akan langsung ke apartemen Bryan lagi. Jadi gue menunggu bus di halte. Tiba-tiba ponsel gue bergetar. Bego ya karena gue masih berharap itu adalah Bryan. Tapi ternyata bukan. Itu pesan dari nomor asing.

"Au-ya. Aku barusan melihatmu di halte. Kau mau ke mana? Sean bilang, kau tidak ada kuliah. Oh iya, ini Loey," baca gue lalu celingukan untuk mencari sosoknya.

Gue segera mengetik balasan.

"Kau di mana? Aku mau ke apartemen Bryan. Aku mau resign," gumam gue lalu mengirim pesan. Beberapa saat kemudian, ponsel gue bergetar. Loey menelpon gue.

"Kau mau ke apartemen Bryan?" tanya Loey saat gue menjawab panggilan dia.

"Iya. Kau di mana?"

"Kami harus persiapan comeback. Tidak ada orang di apartemen. Kau serius mau resign?" Loey kedengaran banget berusaha meredam suaranya. Gue tebak, dia pasti lagi di mobil sama majikan gue.

"Iya...."

Loey terdiam sebentar. Gue ikut membisu. Gue bisa saja ke apartemen Bryan menggunakan cardlock cadangan, meletakkan surat resign begitu saja, lalu menghilang dari kehidupan dia. Tapi gue nggak yakin bisa menghilangkan dia dari kehidupan gue. Terutama dari pikiran gue.

"Datang ke gedung agensiku, ya. Nanti aku minta staff agar mengizinkanmu masuk," pinta Loey.

"Mau apa?"

"Setidaknya bicara baik-baik dengan Bryan. Kau masuk kerja baik-baik, keluarlah dengan baik-baik," sahut Loey pelan tapi membuat hati gue tertohok.

"Aku tidak mau. Aku akan terlihat seperti orang bodoh dan asing di sana," tolak gue. Habis ini gue harus menololkan diri sendiri karena telah menyia-nyiakan kesempatan emas yang ditawarkan oleh Loey.

"Oh, begitu.... Uhm, sebenarnya aku ingin bicara langsung denganmu. Bisa ke restoranku nanti jam makan siang?" ucap Loey tiba-tiba.

Gue menimbang-nimbang sebentar.

"Baiklah," setuju gue.

"Aku tutup teleponnya." Loey mengakhiri panggilan.

Gue meletakkan ponsel di tas, lalu duduk terdiam sembari menerawang.

Ini jadinya gimana??? Gue tetap ke apartemen Bryan dan meletakkan surat resign gue begitu aja atau gue harus mengikuti saran Loey??? pikir gue dilematis.

Dan ketika ada bus berhenti, sepertinya gue tahu jawabannya. Gue pun melangkahkan kaki untuk masuk ke bus dan meluncur ke apartemen Bryan dengan hati yakin.

Bersambung

Fangirl TaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang