Aurora - 14

78.8K 9.9K 2.1K
                                    

"Biarkan potongan scene di sini berjalan manis dan wajar sesuai dengan khayalan para fangirl."
(Dian)

☕☕☕


Gue melewati hari-hari yang menyenangkan dan nggak terasa, ini adalah malam terakhir gue di Jeju. Besok pagi, gue harus terbang kembali ke Seoul. Karena itu, gue sudah mulai membereskan barang gue biar nggak terlalu keteteran packing besok pagi.

Tiba-tiba pintu kamar diketok. Gue membuka pintu. Ternyata itu majikan gue.

"Ada perlu?" tanya gue cepat tanggap.

Bryan menggeleng. "Hanya ingin ke sini."

"Untuk???" selidik gue.

Dia nyelonong masuk tanpa menjawab pertanyaan gue.

"Sedang apa?" tanyanya.

"Packing."

"Besok boarding jam berapa?"

"Delapan pagi," jawab gue kembali melanjutkan kegiatan dengan mengabaikan kedatangan Bryan. Toh dia bilang nggak pengen apa-apa.

Selama gue packing, Bryan menatap gue terus. Gue jadi agak risih.

"Kenapa?" tanya gue akhirnya.

Dia menggeleng.

"Matamu lucu. Aku suka," jawab dia meluluhlantakkan sistem syaraf gue.

Wajah gue memerah. Tapi gue nggak mengatakan apa pun. Lagian gue mau bilang apa? Gue bukan siapa-siapa dia. Mau gue balas memuji juga pasti dia sudah kenyang dengan pujian dari fans-nya.

"Besok aku akan ikut mengantarmu ke bandara," ucap dia.

Gue berhenti packing dan menatap dia.

"Tidak usah. Nanti ada fans yang melihat. Nanti mereka membuat rumor aneh," tolak gue halus lalu tersenyum kecut. "Iya, aku tahu aku hanya orang berwajah standar yang tidak pantas dirumorkan denganmu. Aku hanya asisten rumah tanggamu. Tapi aku berhak melindungi diriku, kan?"

"Aku tidak akan turun dari mobil. Jadi tidak akan ada yang merumorkan kita," tukas Bryan cepet. "Aku akan tetap mengantarmu."

"Tapi—"

"Aku yang mengajakmu, berarti aku harus bertanggung jawab."

Gue terdiam.

Emang percuma ngomong sama dia....

🍃🍃🍃

Pagi ini gue ke bandara dengan menggunakan fasilitas mobil dari hotel. Bryan memenuhi janjinya untuk ikut mengantar gue. Sepanjang jalan, gue berkutat dengan buku yang memang gue bawa dari Seoul. Gue harus belajar karena kembalinya gue di kampus akan disambut dengan ujian.

"Letakkan bukumu, Aurora," komentar Bryan yang duduk di sebelah gue.

"Ada ujian. Aku harus belajar," sahut gue tanpa melirik dia.

Tiba-tiba dia menyambar buku itu dari tangan gue.

"Jangan membaca di mobil. Nanti pusing."

"Aku tidak pusing!" sergah gue berusaha meraih buku itu dari tangan dia. Sialnya, dia punya tangan yang panjang sehingga bisa menjauhkan itu dengan mudah.

"Kau boleh membaca lagi setelah di bandara."

"Aku—"

Bryan meletakkan telapak tangannya sampai menutupi wajah gue. Kemudian dia mendorong wajah gue menjauh sampai gue hampir terjungkal.

"Duduk yang manis. Sebentar lagi kita sampai," kata dia melepaskan telapak tangannya dari wajah gue.

Gue pun hanya bisa mencebikkan bibir. Sedih amat hidup gue. Muka gue digituin berasa kayak gue tuh najis banget deket-deket dia. Gue berusaha sabar. Gue sadar diri kok meskipun kemarin-kemarin dia habis memeluk gue tanpa sebab. Anggaplah yang kemarin itu dia sedang khilaf dan matanya mendadak terkena rabun dekat.

Setiba di bandara, Bryan meminta gue berhati-hati dan memastikan kalau tiket gue aman. Setelah itu, gue segera turun dari mobil seraya menyeret koper unyu biru muda menuju terminal keberangkatan. Tapi langkah gue terhenti karena ponsel gue berbunyi.
Kening gue berkerut. Bryan mengirimkan pesan pesan pendek buat gue.

From : Bryan
Message:
Aku tidak ingin berbasa-basi.
Jadi aku akan mengatakan pada intinya.
Aku menyukaimu.
Aku ingin hubungan kita lebih idol dan fans.
Aku ingin kau hanya mengagumiku.
Aku ingin kau hanya melihatku. Bisa???
Reply

"Hah?!" Gue terkejut setengah mati.

Bryan nggak salah kirim, kan?!

Buru-buru gue mengetik balasan. Tapi sebelum selesai mengetik, ada panggilan masuk dari dia yang membuat jantung gue mau meledak.

Gue harus gimana?! Gue bener-bener gemeteran nih!

Dengan pipi memerah, gue menjawab panggilan itu. "Halo...."

"Sudah baca pesanku?" tanya Bryan.

Pipi gue makin merah.

"Emmm.... Iya...," jawab gue pelan.

"Bisa berikan aku jawaban sekarang?" pinta dia yang membuat gue kehilangan kata-kata.

Bryan menghela napas karena gue nggak bersuara.

"Aku tahu kau malu. Kau tidak perlu berkata apa pun. Jika kau juga mencintaiku, tolong berbalik dan tersenyum padaku. Aku ada di belakangmu. Jika tidak, abaikan saja aku," lanjut dia yang membuat langkah gue surut.

"Aku akan menghitung sampai tiga. Kalau kau tidak berbalik, kuanggap kau tidak mau," ucap dia.

"Aku—"

"Satu...." Bryan menyela gue.

Gue terpaku di tengah kerumunan.

"Dua...."

Gue berusaha meredam debaran di dada.

"Tiga...."

Gue telah membuat keputusan besar. Gue pun berbalik dan menemukan sosok bermasker nggak jauh dari tempat gue berdiri.

"Terima kasih sudah berbalik," kata Bryan. "Tersenyumlah."

Senyum gue perlahan terukir saat melihat dia melambaikan tangan dengan sorot mata yang manis banget. Seumur hidup, gue belum pernah mendapat tatapan se-sweet ini dari seorang cowok. Dan gue harus mengakui, Bryan punya kekuatan di sorot mata dan senyum manisnya. Kekuatan yang bikin lutut para gadis mendadak goyah, lalu mengaku sel telurnya rontok atau hamil online secara berjamaah.

"Pergilah. Nanti sore kita akan bertemu di Seoul. Hati-hati," ucap Bryan.

"Kau juga hati-hati," balas gue akhirnya bersuara.

Dengan bahagia, gue melangkahkan kaki ke terminal keberangkatan. Gue masih nggak bisa percaya kalau gue ada di titik ini. Gue selalu merasa, Bryan itu sulit gue raih. Tapi ketika semesta mendukung gue buat deket sama dia, gue bisa apa?

—Bersambung

Fangirl TaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang