Part 1

219K 5K 133
                                    

"Sella, bangun woi! Gila lo, cewek sih tidurnya ngebo banget udah kayak orang mati suri lo!"

Teriakkan itu membuat aku mengerang dalam tidurku. Aku mengerjap, merasakan tangan yang mengayun tubuhku cukup kencang—berusaha membangunkanku dengan cara yang sedikit menyebalkan.

Kalian tahu siapa yang berteriak itu? Baiklah, biar aku perkenalkan. Dia Bian, nama lengkapnya adalah Bian De Wizein. Dia Abangku satu-satunya, orang yang paling menyebalkan yang ada di dunia namun juga menjadi sosok yang paling aku sayangi.

Bian dan aku terpaut 5 tahun. Saat ini dirinya sedang menjalankan kegiatannya menyelesaikan kuliah S2-nya di salah satu universitas terkenal di Jakarta. Dia sosok yang pintar, masuk dalam daftar pacarable untuk para cewek yang mencari kekasih tanpa dan pintar.

"Dek! Bangun apa, sih? Kenapa susah banget dah lo kalo disuruh bangun? Bunda sama Ayah udah nungguin di bawah untuk sarapan tuh!" Bian kembali bersuara, membuatku langsung membuka mata dan menatapnya sebal.

"Apaan sih, Bang? Gue ngantuk!" kataku sebal.

Aku kembali memejamkan mataku. Sungguh, aku masih begitu ngantuk. Semalam aku mengalami insomnia, entah apa yang membuatku tidak bisa tidur, tapi aku benar-benar baru bisa terlelap pukul 4 pagi.

"Oh ... lo nggak mau bangun? Ya udah. Gue bakal bilang sama Bunda kalau lo nggak mau ikut ke rumah Omah hari ini." Bian kembali bersuara. Kali ini, ucapannya membuatku membuka mataku kembali.

"Serius mau ke rumah Omah?" tanyaku meyakinkan.

Mendengar kata Omah yang baru saja Bian sebut membuatku mulai mengumpulkan kesadaranku. Aku akan merasa senang saat berada di rumah Omah, karena di sana banyak sekali es krim kesukaanku. Omah memang tahu jika aku menyukai es krim, maka dari itu Omah selalu menyediakan es krim di rumahnya—entah aku akan datang setiap hari atau satu minggu sekali, Omah akan selalu menyediakan es krim di rumahnya.

Bian merotasi matanya, melirikku dengan pandangan sebal dan langsung menarik tanganku hingga posisiku berubah menjadi duduk. "Mau ngapain gue bohong sama lo, Dek? Lebih baik sekarang lo mandi, gue tunggu di bawah. Sekarang!" Bian kembali menarik tanganku sampai aku berdiri, ia kemudian mendorong pelan tubuhku mengarah ke kamar mandi.

"Ih, iya! Nggak usah dorong-dorong, gue bisa jalan sendiri!" ketusku sembari berjalan menuju kamar mandi, meninggalkan Bian yang masih berdiri di pinggir tempat tidurku.

***

Tidak membutuhkan waktu lama untukku mandi dan bersiap-siap. Hari ini aku memilih untuk menggunakan dress floral simple dan sepatu flat. Aku mengulas sedikit pelembab pada bibirku, memakai parfum kesukaanku, dan terakhir mengurai rambutku yang masih basah.

Berbeda dengan remaja perempuan yang ada di sekolahku, aku lebih memilih untuk berdandan seadanya. Maksudku, dandanan simple seperti ini lebih membuatku nyaman dibanding aku harus berdandan cantik namun membuatku merasa tersiksa karena itu membuang waktu yang lama.

Aku mengambil tas kecil milikku, memasukkan ponsel dan dompetku. Setelahnya aku melangkah keluar kamar menuju ruang makan yang berada di lantai bawah.

"Pagi, semuanya," sapaku sembari memberikan senyum simpul saat melihat keluargaku sudah berkumpul di ruang makan untuk menungguku.

"Pagi, Sayang," balas Bunda dan Ayah bersamaan.

Aku memberikan cengirangku, mendekat pada meja makan dan langsung mengambil posisi tepat di samping Bian. Bunda berada di depanku, sedangkan Ayah ada di sisi kiriku.

"Sudah lengkap semuanya, kan? Kalau begitu, kita mulai sarapannya ya," ucap Bunda yang mulai menyendokkan nasi di piring kami.

Hari ini Bibi Ina—sosok yang membantu pekerjaan di rumah ini—memasak makanan kesukaanku. Mataku langsung tertuju pada ayam goreng dan capcay yang membuat perutku berbunyi pelan.

Setelah Bunda memberikan piring berisi nasi, aku dan Bian segera menyambar makanan yang tersedia di atas meja. Kami berdua terkekeh pelan, saling menggoda saat ingin mengambil ayam.

"Pelan-pelan, Sayang, jangan seperti itu ... nanti makanan kalian jatuh," ucap Bunda yang langsung dijawab oleh anggukkan dan tawa kecil dari kami.

Sarapan pagi ini tidak jauh berbeda dengan hari lainnya, selalu diisi oleh canda tawa kami karena Ayah dan Bian sesekali melontarkan lelucon yang membuat kami tertawa.

Mungkin memang tidak sopan tertawa atau berbicara saat keadaan makan, tapi kami selalu melakukannya sekadar untuk mencairkan suasana.

Bukankah suasana seperti ini justru membuat keluarga semakin harmonis? []

Beautiful DisasterWhere stories live. Discover now