Chapter 60 "Tidak Perlu Disembunyikan"

1.4K 115 124
                                    


Pertanyaanku masih menggema dalam kepala. Kecemasan yang entah dari mana datangnya tiba-tiba mendera relung hatiku. Aku merasa timbul sedikit rasa ketakutan akan kehilangan dirinya, meskipun aku tahu bila yang mendekatinya adalah seorang gadis. Hati ini tetap tidak bisa tenang. Aneh. Bila kuingat kembali aku tidak pernah merasa secemas ini padanya karena hal sepele. Apa mungkin ini efek setelah pengakuan perasaanku?

Aku merasa bila tidak ingin sedetik pun jauh darinya.

Jam istirahat belum tiba, tapi aku segera keluar kelas dengan alasan pergi ke toilet. Tentu saja itu bohong. Aku memutuskan pergi untuk melihat Bella, aku sedikit penasaran dengan apa yang gadis itu katakan pada Bella sampai harus membawanya ke luar kelas. Untuk urusan tugas, telah aku serahkan sepenuhnya pada Zidan. Aku memintanya untuk menyalin tugas untukku juga. Mulanya ia menolak, tapi setelah kujanjikan akan mentraktirnya mie ayam, barulah ia menerimanya.

Kulangkahkan kaki dengan pelan hingga kakiku terasa mengambang di atas lantai. Aku takut bila suara hentakan kakiku memecah konsentrasi belajar di kelas-kelas yang kulewati. Jika begitu aku pasti akan menarik perhatian orang banyak. Sembari berkeliling di lorong-lorong aku menapaki lantai dengan langkah ringan. Pada saat itulah perhatianku tertuju pada dua orang gadis yang berada di koridor lantai dua di gedung seberang. Lorong itu berada di depan ruang multimedia dan ruang komputer.

Tanpa membuang waktu, aku segera pergi menuju gedung itu dan meniti satu per satu anak tangga untuk sampai ke lorong yang sama dengan Bella. Aku baru saja sampai di lantai dua ketika gadis bersurai sebahu berjalan melewatiku dari lorong yang ingin kutuju. Ia bergeming sejenak. Lalu melempar seulas senyum penuh arti padaku sebelum menuruni anak tangga.

Aku segera menghampiri Bella yang masih terpaku ke depan dengan menyandarkan tubuh mungilnya pada pagar pembatas. Angin yang berhembus pelan membelai rambutnya hingga berkibar dengan elok. Memandang ke atas langit di antara ruang komputer dan multimedia yang kosong dan tak bersuara. Kakiku membuat beberapa langkah hingga akhirnya ia menyadari kehadiranku.

Bella menolehkan kepalanya. "Sena? Sedang apa kau di sini?"

Aku hendak menjawabnya, tapi mendadak lidahku kelu. "A-Aku ... tadi mau ke toilet."

"Toilet kan ada di lantai satu, bukan di sini?"

"I-Itu ...." Aku menggaruk kepalaku seolah berusaha mencari alasan yang lebih pintar untuk berdalih.

Bella menghela napas panjang. "Aku mengerti. Jadi, apa kau ingin menanyakan tentang yang gadis itu bicarakan padaku?"

Aku terkesiap. Mudah sekali gadis sepertinya membaca pikiran orang lain. Atau mungkin aku yang terlalu jelas menampakannya lewat sikap dan perkataan. Tapi itu cukup mempersingkat waktu dan tidak membuatku harus mencari alasan lagi.

Aku mengangguk pelan. Pandangan kualihkan ke samping dengan malu-malu.

"Kau pasti tidak tahu tentang dirinya, bukan?" Tanpa perlu menunggu jawabanku yang sudah dapat ditebak olehnya, Bella melanjutkan, "dia adalah wakil ketua OSIS saat ini, Karina dari kelas 1-F."

"Apa yang dia inginkan darimu?" tanyaku yang turut menyandarkan tubuhku pada pagar pembatas.

Bella meluruskan pandangannya ke depan. Jauh menembus kumpulan awan putih yang menggantung rendah di atas kota. Entah apa yang dilihatnya dengan mata itu, yang jelas itu bukanlah sesuatu yang dapat kupahami.

"Tahun depan, dia akan mencalonkan diri sebagai ketua OSIS. Dan ia memintaku untuk menjadi wakil ketuanya."

"Hah, wakil ketua!? Lalu apa kau menerimanya?"

My Wife is My EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang