Chapter 10 "Memori"

3.9K 217 24
                                    


Masih terbayang jelas dalam memoriku suara debur ombak yang memecah karang, nyanyian burung camar yang selalu terdengar merdu oleh indera pendengaranku, serta rasa asin dari air yang berasal dari bibir pantai.

Kala itu aku masih berumur lima tahun. Saat orang tuaku hendak pergi ke luar kota karena pekerjaan mereka selama dua minggu. Aku dititipkan di rumah nenekku yang berada di kampung pesisir pantai.

Aku awalnya tidak mau, karena daerahnya sangat terpencil dan keseharian di sana jauh dari kehidupanku saat tinggal di kota.

Risih. Jorok. Norak.

Itulah kata-kata yang selalu ada dalam kepalaku jika menyangkut tentang 'kampung'.

Dua hari kuhabiskan dengan mengurung diri di dalam rumah. Sesekali aku keluar rumah, namun hanya duduk santai di depan teras.

"Apa kau tidak bosan di rumah melulu?"

Itulah kata-kata yang kudengar dari gadis yang tinggal di dekat rumah nenekku.

Aku tak tahu dia lebih muda atau lebih tua dariku.

Tapi sepertinya dia tak berbeda jauh usianya denganku, karena tingginya hampir sama denganku. Potongan rambutnya pendek sebahu, mirip seperti boneka.

Walau aku berkali-kali mengabaikanya dan memalingkan wajahku, dia tetap mengajakku berbicara.

Sampai akhirnya aku membalas perkataanya.

"Aku malas main di kampung seperti ini. Lebih baik di kota tempatku tinggal, di sana banyak permainan seru daripada di sini."

"Kampung ini tak seburuk yang kau bayangkan, kok."

"Bohong...!"

"Aku tak bohong. Kalau kau mau bukti akan kutunjukkan semua seluk beluk tentang kampung ini. Di sini punya banyak hal yang tak bisa kau dapatkan di kota tempatmu tinggal."

Aku tak percaya begitu saja, aku pun menolak ajakanya beberapa kali. Tapi dia tetap keras kepala dan terus membujukku.

Pada akhirnya aku pun mengangguk dan menuruti perkataanya. Dia bilang akan menunjukan hal menyenangkan di kampung ini.

Tapi aku tak tahu dia berkata benar atau tidak. Mungkin saja dia akan mendorongku jatuh dari atas tebing karena telah menghina kampung tempatnya tinggal.

Tapi entah kenapa aku masih tetap mengikutinya.

Hatiku mengatakan untuk mempercayainya saat itu. Karena sebenarnya aku juga ingin melihat hal yang akan ia tunjukkan padaku.

Sampai pada akhirnya aku dihadapkan pada hamparan pasir putih yang terbentang luas. Air lautnya terbilang cukup tenang. Jarang ada ombak besar menggulung yang berhasil sampai titik pasang pantai.

"Apakah ini yang ingin kau tunjukkan padaku?"

Gadis itu melempar senyum manisnya padaku.

"Ya. Di kota kau takkan menemukan pantai sebersih ini."

Memang benar perkataanya.

Airnya sangat jernih seperti air kolam renang, bahkan aku bisa melihat ikan yang berenang di antara terumbu karang yang berwarna-warni.

Permukaan airnya memantulkan warna biru langit secara sempurna.

Baru kulihat pertama kalinya dengan mata kepalaku sendiri pantai seindah ini. Pantai yang biasa kukunjungi, apalagi di ibukota memiliki air keruh seperti air got. Tak jarang juga ada beberapa sampah yang berserakan di atas pasir pantai.

My Wife is My EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang