Chapter 50 "Lelah"

1.8K 161 124
                                    


Suaraku tersendat di tengah tenggorokan. Seakan ada batu besar yang menghalanginya keluar. Aku benar-benar tidak dapat berbicara seperti kehilangan suaraku. Sebenarnya aku sudah merangkai kata, namun tak memiliki keberanian untuk mengatakannya.

Karena aku tahu ... Bella pasti akan tersakiti.

Bella masih memelototiku. Wajahnya merah seakan hendak pecah dalam tangisan. Kendati demikian, aku tidak memiliki kemampuan untuk menurunkan ketegangannya. Di saat itulah aku menyadari kelemahanku sebagai seorang laki-laki.

"S-Sebenarnya ... itu um...," kataku dengan terbata-bata.

"Jadi itu benar!?"

Bella menjatuhkan pandangannya. Kedua tangannya diremas dengan erat. Poninya yang lucu menghalangiku menatap bola mata berwarna senja miliknya. Namun aku tahu, saat ini gadis yang berada di hadapanku tenggelam dalam kegelapan hatinya.

"Kau tidak pernah membalas pesanku atau mengangkat teleponku. Aku benar-benar terlihat seperti orang bodoh saat mencemaskanmu semalam," ujarnya dengan suara yang hampir serak parau.

Punggung tangannya ia gunakan untuk menyeka butiran air yang memantulkan cahaya kristal dari ujung matanya. Di saat ini, ia sangat membutuhkan seseorang untuk menenangkan hatinya.

Akan tetapi saat aku memegang lengan kecilnya untuk menatap wajahnya, ia menepis tanganku dengan dingin.

"JANGAN PERNAH SENTUH AKU LAGI ...!!!"

Hatiku langsung tersentak oleh matanya yang memerah. Seperti dihantam oleh sesuatu yang sangat kuat. Aku ragu untuk menyentuhnya lagi. Aku merasa ada dinding tidak terlihat yang memisahkan kami berdua.

Di saat berikutnya aku hanya bisa melihat air matanya yang meleleh begitu ia pergi dengan emosi yang bercampuran.

Kini aku ditinggal olehnya. Walau di kelas ini masih ada Nia dan beberapa murid lainnya yang tampak terkejut dengan apa yang mereka lihat antara aku dan Bella. Tapi aku masih merasa sendirian.

Aku salah. Aku tidak merasakan apa pun saat ditinggal olehnya. Tapi yang membuatku merasa sakit adalah saat melihatnya menangis karena terluka. Terluka oleh kebodohanku.

"Sena, ada apa? Mengapa Bella menangis?"

Suara lembut Nia memanggilku dari arah belakang. Seakan memiliki kekuatan untuk membuatku nyaman. Tapi aku tidak merasa ingin menjawabnya.

Tubuku bergetar. Rasanya aku ingin sekali menenggelamkan diriku ke dasar laut dan tidak pernah muncul lagi ke permukaan. Aku muak saat berpikir tentang memutar balik waktu dan melakukan yang seharusnya kulakukan. Meski saat itu aku tahu ini akan terjadi. Aku tetap melangkah ke jalan yang tidak semestinya.

Aku benar-benar benci diriku yang seperti ini.

=======

Kuketuk pintu rumahku sendiri saat petang menjelang. Namun tidak ada jawaban. Apa Bella tidak ada di dalam? Aku menduganya karena sejak kami memiliki sif kerja paruh waktu yang sama, dia tidak menunjukan batang hidungnya sedikit pun di tempat kerja.

Aku membuka pintu dan membiarkan diriku sendiri masuk perlahan ke dalam ruang tamu. Menghilangkan suara jejak kakiku serta melihat secara seksama ke sekitar. Rasanya aneh saat bertingkah seperti seorang pencuri di dalam rumah sendiri.

Alih-alih tidak ingin diketahui oleh Bella saat melangkah ke dalam rumah. Bukannya aku merasa takut atau yang lainnya. Melainkan aku ragu dapat menghadapinya dengan biasa. Tapi sudah kubulatkan keyakinan, bahwa aku akan menjelaskan padanya yang sebenarnya terjadi. Walau ada kemungkinan Bella tidak dapat menerimanya.

Langkahku langsung terhenti begitu kedua telingaku menangkap suara air yang dituangkan ke dalam gelas. Kakiku segera mendekat ke sumber suara itu.

Aku menemukan Bella yang lesu berdiri di samping meja makan. Ia tengah menuangkan air panas ke dalam gelas yang sudah berisi gula dan teh celup. Dia tidak melihatku datang sampai aku memanggil namanya.

"Bella ...!" seruku padanya. Mataku dengan miliknya bertemu, tapi ada perasaan asing.

Gadis itu tidak menyahut. Pandangannya kembali jatuh ke atas meja tempat di mana dia mengaduk-adukan sendok di dalam gelas tehnya. Awalnya aku ingin melanjutkannya setelah ia membalas ucapanku. Tapi ia tidak bereaksi sama sekali.

Aku tahu pasti apa yang dirasakan olehnya. Di saat sedang marah, ia pasti tidak akan mau menanggapi orang yang membuatnya kacau seperti itu. Karena itulah aku mengambil inisiatif untuk mengeluarkan kalimatku duluan.

"Biar kujelaskan, kemarin aku membantu Nia untuk memilihkan hadiah untuk kakaknya. Sama sekali tidak ada maksud lain. Aku akui memang salahku tidak membalas pesanmu. Tapi tolong percayalah padaku ...!"

Senyap. Sama sekali tidak ada rekasi apa pun darinya. Bahkan menatapku pun tidak. Aku dengan Bella bagaikan nun mati bertemu lam. Ada, namun tidak dianggap.

"Bella ...!" aku mencoba memanggilnya lagi. Dengan menaikan sedikit intonasi. Berharap ia tidak mengabaikanku.

"Ya, aku percaya," jawabnya singkat dengan masih memalingkan pandangannya dariku.

"Lalu, maukah kau memaafkanku?"

Bella kembali terdiam seribu bahasa. Setelah tehnya siap saji, ia segera berjalan ke arahku sambil membawanya. Aku tidak ingin ia berlalu begitu saja tanpa menjawabku.

Dengan sedikit dorongan yang meluap dari dalam hatiku, aku memberanikan diri untuk menahan lengannya agar tetap bersamaku di sini. Saat itulah dia memandangku dengan matanya. Namun pancaran kehangatan menghilang dari dalamnya. Pandangannya yang bagaikan duri es menusukku hingga membuat suhu badanku turun.

"Bukankah sudah kubilang untuk tidak menyentuhku lagi?!"ujarnya dengan dingin.

Bukan karena takut. Namun aku melepaskan tanganku darinya karena merasakan aura asing yang tidak pernah kurasakan sebelumnya darinya.

Mata oranyenya kembali menatapku lekat-lekat. "Aku ... sudah lelah dengan semua ini."

My Wife is My EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang