Chapter 34 "Rahasia Terbesar"

2.4K 132 61
                                    


"Apa mungkin si sialan ini ... jatuh cinta pada Febri?"

Ini hanya hipotesisku saja. Mungkin saja aku salah menafsirkannya.

Tapi aku tidak bisa mengartikan aura merah muda di sekitar Zidan ke arah yang lain selain ini.

Untuk seseorang yang jatuh cinta setelah diberi potongan kue, dia benar-benar murahan!

Aku ingin mengonfirmasi kebenaranya dengan menanyai si bodoh itu. Tapi aku tidak ingin merusak suasana merah muda darinya.

Tubuhnya memang berada di sini, tapi mungkin pikirannya sudah terbang entah kemana.

Febri yang merasakan tatapan intens dari Zidan pun menoleh. Gadis berkuncir itu pun menelengkan kepalanya.

Rupanya si bodoh itu masih terpesona dan masih belum kembali kesadarannya.

"Hei!" ujar Febri yang menjentikkan jarinya tepat di depan wajah Zidan.

"Eh, apa!!?"

Zidan yang terkejut lalu bertanya-tanya sendiri seperti orang bodoh. Tidak, dia memang sudah bodoh dari dasarnya.

"Kau ini kenapa? Kau seperti melihat hantu."

"Sebaliknya, mungkin aku melihat bidadari tadi," ujar Zidan dengan lirih jadi tidak mungkin Febri mendengarnya. Sementara aku dapat menangkap kata-katanya dengan jelas karena aku berada tepat di sebelahnya.

"Eh, apa yang kau katakan tadi!?"

"Tidak apa-apa."

Zidan mengalihkan pandangannya dengan malu-malu.

Melihat reaksinya yang seperti itu, aku dapat menyimpulkan ketepatan dari hipotesisku sebelumnya.

Akan tetapi, akan lebih akurat jika aku menanyainya langsung padanya nanti.

Beberapa menit kemudian, kami sudah melahap hampir semua makanan yang ada hingga perutku sudah tak kuat menampung lagi.

"Kenyangnya ...!"

"Aku sudah tidak bisa bergerak lagi!" timpal Zidan.

"Payah!"

"Baru segitu aja sudah mager!"

"Ayo Sena, Zidan kita lanjut lagi!"

"Aah ... kalian itu kan cowok! Mana tenaganya!?"

Para gadis langsung menimpali dengan kata-katan yang cukup melukai kejantanan seorang pria.

Justru karena kami cowok jadi kami yang harus menghabiskan sisa makanan yang tidak para cewek habiskan.

"Memangnya ini salah siapa!?" aku mendengus kesal setelah mendengar gerutuan mereka.

"Haha ... maaf, maaf! Soalnya cewek kan makannya memang tidak banyak!"

Shella tertawa dengan riangnya, seakan tidak mau disalahkan.

Kupikir pepatah zaman dulu memang benar, 'Cewek tidak pernah salah'. Meskipun ini sudah jelas kesalahan mereka, para cewek tetap tidak mau mengakuinya.

Mereka memang tidak jantan!

"Ya sudah, kita istirahat dulu saja di sini!" kata Febri.

Kharismanya yang seorang ketua kelas sangat berpengaruh walau di luar sekolah. Walau kami sedang tidak berperan menjadi siswa di sini, kami langsung mengikuti ucapannya tanpa pikir panjang.

"Kalau begitu aku ingin bermaindi bawah air terjun dulu!"

"Eh, tunggu dulu!"

Nia langsung menyusul Shella yang sudah pergi tanpa peduli dengan yang lainnya.

My Wife is My EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang