#23 "with sadness face"

2.8K 233 4
                                    

Bahkan jeans hitam pekatkupun baru setengah masuk keseblah kaki kiriku saat tiba-tiba handphoneku geter-geter sambil bernyanyi lagu hura-hura. Aiiish.. dengan tangan yang lumayan sibuk, aku mencoba mengangkat telpon penting dari Irwan. Entah penting atau tidak, tapi apapun panggilan masuk yang berasal dari Irwan, maka ku anggap penting, menyangkut masalah hati. Beudeeeuh...

“haloo ?”

“selamat pagi sayang..”

Aku terus-terusan menambah koleksi kerutan di dahiku, terheran-heran pada diri Irwan yang sangat tumben sekali menelponku di pagi-pagi bahkan saat aku belum selesai mengenakan kostum kuliahku. Jeans ketat dan kemeja.

“eh, pa.. pagi..” aku gelagapan, karena heran.

“hehe.. tumben kan aku telpon pagi-pagi.. kapan lagi coba aku telpon kamu pagi-pagi..”

Aku yang masih mencoba menarik celana super ketatku mencoba cengengesan kesenengan. Kalau dipikir, benar juga, Irwan belum pernah menelponku sepagi ini. Hey, berarti ini telpon perdananya. Ett tapi, bukankah hari ini adalah.. ??

“heh, kamu bukannya hari ini pelantikan yah ?”

iyah sayang, hari ini aku pelantikan, doain yah moga lancar pelantikannya..”

“iyah, selamat  dan sukses yah buat pelantikannya. Ohiyaa.. keluarga udah pada dateng kesana ??”

Irwan diam sesaat, kemudian setelah beberapa helaan nafas barulah ia angkat bicara.udah kayaknya.. udah banyak  orang diluar..”

“ohh gitu, yaudah.. good luck sayang, aku juga mau berangkat kuliah nih.. see you di rumah, bye..” buru-buru kututup telpon Irwan, manakala bapake memanggil dari luar pertanda siap berangkat meluncur beraktifitas. Hmm hmm beginilah kegiatanku setiap pagi, berangkat berbarengan dengan ayahku sampai halte, karena aku dan ayahku beda jalur.

Ohh iya, ayahku guru sartifikasi matematika galak dan senibudaya di sebuah sekolah swasta yang tak terlalu jauh dari rumah. Tapi bakat jago ngitung sama sekali tak tertular ke diriku. Matematika adalah ilmu pasti, aku lebih suka ilmu perhitungan logika, makanya aku lebih suka pusing mikirin politik, aku lebih suka berenang di lautan pasal dari pada disuruh ngitung 1+1, ohiya sewaktu sekolah aku bahkan lebih ngerti pelajaran elektronika dan fisika ketimbang matematika padahal lebih rungseb fisika. Kalau senibudaya-nya mungkin sedikit tertular padaku, walopun aku gak bisa nyanyi, tapi sedikit-dikit aku bisa main alat musik dan melukis serta mulai sedikit-sedikit beljar ilmu merangkai bunga.

“ta.. cepetan.. ayah telat absen hadir nih nanti..”

Aiiish, bahkan spon bedakku baru meluncur tepat di pipi kiriku. Huuuh, baik baik.. aku bersolek ekspres. Hanya bedak tipis, dan segera ku tarik masker dan melesat menuju ayahku yang mulai geram menungguiku yang dandannya lama. Padahal enggak lhoo, itu tadi gara-gara Irwan, udah salahin aja Irwan.

Sampai halte, aku tak menunggu lama lagi, bis kelas ekonomi itu datang. Yuhuu.. setelah naik dan duduk cukup nyaman, kusegerakan mengambil earphone kemudian jari-jari cantikku cepat menuju playlist kesukaanku, setelah seluruh suara memenuhi indra mendengaranku, aku  mulai memejamkan mata. Aku beneran tertidur, aku baru terbangun lagi saat bis yang menghantarkanku pergi menimba ilmu sampai pada halte kebon nanas. Sepuluh menit dari halte tersebut, aku mulai bisa melihat gedung pendidikanku.

Kuliahku di hari pelantikan Irwan berjalan tak terllu baik, sebab aku terus terpikir kejadian langka yang baru terjadi sekali yakni Irwan menelponku pagi-pagi, sehingga aku kurang fokus menyimak materi.

Dear Pak Loreng (END)Where stories live. Discover now