#6 "getar namanya"

7.5K 487 1
                                    

..seseorang

Dengan sadar begitu namanya lewat dibenakku langsung saja kusingsingkan kaos lengan panjangku, kutulis namanya di pergelangan tangan kiriku, ku panggil namanya perlahan..

"Irwan.."

Getar nama yang kupanggil itu rasanya aneh, tentu bukan seperti rasa sarden atau tempe goreng tak berbentuk semalam. Pokoknya aneh entah kenapa. Aku hanya pandangi nama itu tanpa ada maksud untuk memotretnya. Kenapa pula tiba-tiba kutulis nama itu.

"turun yuuk.. udah siang nih.."

Teriak bang omet, Rahman, Rohmet. (Satu orang😒)

Kami lalu menyudahi kegiatan berfoto kami. Dengan segera ku tarik lagi lengan baju yang di dalamnya masih tertulis nama itu. "Irwan.." kupanggil nama itu sekali lagi dalam hati, memastikan kalau-kalau ada getaran lain, tapi hasilnya masih sama. Entah kenapa.

Kami mengatur posisi turun, posisiku urutan kedua setelah si leader, bang Rahman. Kali ini bang Rahman memback-up ku turun, sebahaya itukah turun sampai harus di back-Up khusus. Bang Pramana jadi paling akhir karena harus memegangi tali bakal turun kami.

Jalur turun berbeda dengan jalur naik tadi. Tracknya lebih gila dari track naik, teriakan batu jatuh lebih sering terdengar. Track licin, track batuan krikil kecil-kecil yang membuatku tak nyaman dengan sepatu cantikku. Kami hanya cukup diam, biar tubuh kami sendiri yang bergerak menggelincir, kekuatan kaki sangat diperlukan, yang jelas hati-hati. Aku memegangi pundak bang Rahman dari belakang. Mendebarkan kalau tak konsentrasi bisa-bisa kami jatuh menggelinding seperti adegan ekstrim yang tadi kulihat.

"batu... awas.."

Teriak orang dari atas, aku dan bang Rahman menahan langkah dan menoleh kebelakang, keatas tepatnya. "tahan cha batunya.." ucap bang Rahman.
Kutahan batu itu, lalu kusisikan agar tak menggelinding lagi. Kami meneruskan turun kami. Rasa deg-degan acap kali menyapa, mulutku tak bisa diam kaget. Tapi lama kelamaan aku mulai terbiasa dengan track kali ini, perlahan ku lepaskan peganganku dari bahu bang Rahman.

"hati-hati cha.."
Pesan bang Rahman.

"iy.. aaaaaa...aaa.." aku teriak kaget saat aku terpeleset. Bang Rahman panik langsung menoleh kearahku, tapi saat ia menoleh tak bisa ia pungkiri juga, ia kehilangan konsentrasi dan keseimbangannya. tak sengaja ia menginjak batu labil yang membuatnya tergelincir kebawah. Dengan cekatan sebisanya ku raih tangan bang Rahman, kutahan tubuh gempal itu dengan tangan kananku, sementara tangan kiriku memegang entah akar atau apalah aku tak sempat melihat.

"abang...."
Bukan hanya aku yang terkejut melihat bang Rahman yang masih kutahan, tapi para rombongan yang posisinya tak terlalu jauh diatas kami.

"tahan bang.." tukasku.

"lepas cha.."

Apa ?? lepas, maksudnya ??

"lepas cha.." perintah bang Rahman lagi. Mau tak mau ku lepas tangan itu tak tega sebenarnya melihat tubuh itu jatuh tergelincir. Dan berhenti saat batu besar menahannya.

Fiiiuuuh.. untunglah.
Aku menghampiri bang Rahman. Sebelumnya ku lihat tangan kiriku, penasaran sebenarnya apa yang kupegang, kokoh sekali menahan ku dengan tubuh gempal bang Rahman.
Ahh.. aku terkejut ternyata edelweiss yang menyelamatkanku. Tanaman ini cukup kokoh tertanam sehingga kuat menopangku dan tubuh bang Rahman tadi.

"gak apa-apa bang ??"

"sshh.. nggak apa-apa kok.. kamu nggak ada yang luka kan ??" bang Rahman meringis menahan sakit pada lutut dan sikunya yang sudah terlumur darah. Aku merinding melihatnya, aku ngerih sekali, aku takut darah. Padahal di boarding school posisiku sebagai kordinator pengurus bagian kesehatan, bisa di panggil juga dokter asrama. tapi paling takut dengan darah. Takut memeriksa anggota yang sakit, luka berdarah. Biasanya kalau aku dihadapkan dengan situasi seperti ini, aku akan melemparnya kepada Leni anggotaku untuk menanganinya.
"abang kenapa ??" tanya mbak Antik panik. "nggak apa-apa kok.. lanjut.. lanjut.. duluan.."

Dear Pak Loreng (END)Where stories live. Discover now