Chapter 43

2K 170 43
                                    

"I pray for him even though he doesn't know about it because i wanna make sure God got him like i got him."

***

"Permisi!"

Suara seorang perempuan seketika terdengar dan disusul dengan terbukanya pintu ruang inap pasien yang bernama panjang Zaro Bintang Adiwijaya.

"Eh Aura," sapa Eva begitu ia melihat sosok perempuan yang sangat berarti bagi anaknya itu. "Masuk aja, sayang."

"Eh ada Bunda," Aura tersenyum hangat. "Om Fito sama Mike dimana, Bun?"

"Di apartment. Kasian Mike, capek kayaknya dia. Makanya Bunda suruh pulang aja."

"Oh gitu," Aura menganggukkan kepalanya. Tatapannya kini beralih pada Zaro yang tengah asik menatap langit-langit kamar yang sebenarnya terasa nampak gelap bagi cowok itu. "Kak, ini gue bawa pesenan lo."

"Bunda, aku mau ngomong sama Aura berdua, boleh?"

"Boleh, nak," kata Eva sambil berdiri dari duduknya dan berjalan keluar ruangan.

Aura tersenyum sekilas membalas senyuman Bunda dan berjalan mendekati kamar tidur Zaro.

"Gimana? Badannya udah agak mendingan?"

Zaro menghela napasnya. "Ga ada perubahan, Ra."

Aura berusaha tersenyum walau ia tau Zaro tidak akan bisa melihat senyumannya. "Besok pasti mendingan. Gue yakin. Dan lusa, pasti lo sembuh."

Zaro tersenyum miris. Gimana bisa, Ra. Orang Bunda barusan ngomong kalo penyakit gue tambah parah.

"Mau makan seblak, Ra."

"Oke."

Aura membuka bungkusan seblak yang ia taruh di atas meja dan meletakkannya di sisi kasur yang kosong. Ia pun bangkit berdiri dan membantu Zaro agar bersender di dinding.

"Buka dong mulutnya."

Zaro menurut dan membuka mulutnya. Tak lama kemudian, se-sendok seblak pedas berhasil masuk ke dalam mulutnya. Matanya melebar kala menyadari tingkat kepedasan makanan yang barusan ia makan sangat pedas.

"Ra, minum dong tolong. Pedes banget."

Aura mengambil segelas air putih dan membantu Zaro meminum air itu dengan hati-hati.

Zaro mengusap berkas air yang tersisa di mulutnya. "Gue nyusahin, ya?"

Sontak Aura membulatkan kedua matanya. "Nggak lah. Santai aja kali."

Zaro menghela napasnya berat. "Kapan ya gue sembuh? Pengen ngeliat muka lo lagi, Ra. Kangen."

Hati Aura serasa mencelos begitu mendengar ucapan lemah Zaro beberapa detik yang lalu. Dengan tangan gemetar, ia mengambil sebelah tangan Zaro yang terpasang selang infus.

"Gue juga kangen liat lo natap mata gue, Kak. Tapi gimana, ini udah takdir. Sekarang lo nggak usah pikirin gue, mending lo pikirin gimana caranya supaya lo bisa sembuh dan balik lagi seperti kak Bintang yang gue kenal. Kuat dan tegar."

"Sekarang gue udah nggak kuat dan tegar, ya?"

"Bukan begitu," Aura menggeleng cepat. "Lo masih sama seperti Kak Bintang yang gue kenal. Cuman sekarang lo jadi agak berbeda, lebih suka ngelamun dan bengong."

Gimana ga galau. Gue aja nggak bisa liat apa-apa begini.

"Lo sakit, tapi jangan lupa untuk tetap terus bersyukur, Kak. Jadikan penyakit lo ini buat jadi penyemangat hidup lo. Gue yakin, kok lo pasti bisa sembuh. Gue yakin banget."

MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang