Chapter 42

2.1K 175 30
                                    

Banyak yg bilang chapter ini ga bisa dibuka. So, aku publish ulang ya!
Happy reading:)

***

"Cause girls only say 'hate you' to the boys they love."

***

Aura memegang kenop pintu ruang inap Zaro dengan tangan bergetar. Ia tak siap. Ia tak siap untuk melihat keadaan lelaki yang sangat ia sayangi itu seperti apa nantinya.

Perempuan dengan wajah sembab itu menghirup napasnya dalam-dalam. Dengan seluruh kekuatan yang ada dalam dirinya, ia membuka pintu putih itu.

Di sana. Terbaring lemah tubuh jangkung Zaro yang setelah ia perhatikan lamat-lamat mulai mengurus. Rambutnya yang tebal kini sudah tidak setebal saat ia pertama kali bertemu dengan lelaki itu. Kedua matanya menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong.

"Siapa itu?"

Tangis yang ia tahan sejak beberapa menit lalu kini tumpah dengan mudahnya. Suara itu. Suara yang keluar dari lelakinya terdengar sangat berbeda sekarang. Suara itu tidak lagi terdengar dingin, cuek atau bahkan ketus. Suara itu kini justru terdengar lemah dan serak.

Dengan langkah yang berat, Aura berjalan mendekati Zaro.

Lelaki itu masih saja menatap langit-langit kamar. Mungkin Aura harus mulai terbiasa. Karena mulai detik ini, Zaro tidak akan bisa lagi melihat matanya, wajahnya, dirinya, atau apapun itu.

Tangan Aura terangkat untuk menyentuh rambut Zaro.

"A-Aura?" Ucap Zaro pelan. Ia mencoba mencari Aura dengan menoleh ke kanan dan ke kiri. Tapi nihil. Semuanya nampak gelap di mata Zaro.

"Ini Aura kan?"

Aura diam. Ia menutup kedua matanya yang terasa panas. Air mata tidak henti-hentinya mengalir di kedua pipinya.

"Gue benci lo, Kak."

Zaro tertegun. Benar dugaannya. Gadis yang barusan masuk ke dalam ruangannya adalah gadisnya. Ia memang tidak bisa lagi melihat wajah Aura, tapi entah kenapa ia bisa merasakan keberadaan gadis itu.

"Lo sakit, tapi kenapa malah ditutup-tutupin, sih?" Ucap Aura dengan suara seraknya. "Gue jadi berasa kayak cewek yang nggak ada gunanya tau ga? Di saat lo lagi kesusahan, gue malah diem aja."

"Bukan salah lo," Zaro mentup kedua matanya. "Gue cuman nggak mau lo tau gue lagi sakit. Gue nggak mau kalo lo nganggep gue lemah. Karena apa? Karena gue cowok. Seseorang yang seharusnya bisa jadi cowok kuat untuk ngelindungi orang-orang yang gue sayang. Termasuk lo. Tapi gue nggak bisa, Ra. Gue sakit. Sakit parah."

Aura menggelengkan kepalanya. "Seharusnya nggak gitu. Seharusnya lo ga boleh mendem masalah lo sendiri. Terus apa gunanya gue jadi pacar lo kalo gue nggak bisa bantu pacar gue sendiri?"

"Cukup lo selalu ada di sini. Bareng gue. Itu udah ngebantu, Aura."

Aura menangis dan menghambur ke pelukan Zaro. "Lo nggak bisa liat gue lagi. Lo nggak bisa nemenin gue jalan lagi, nggak bisa ngajarin gue matematika lagi, nggak bisa motoin gue lagi, nggak bisa ma--"

"Bisa," Zaro tersenyum lemah. "Siapa yang bilang Zaro nggak bisa apa-apa hm?"

Aura menggeleng lemah. "Kenapa ... kenapa lo harus sakit lagi, Kak. Gue nggak terima. Gue nggak suka liat lo sakit kayak gini."

MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang