Chapter 40

1.9K 152 13
                                    

"You have no idea how fast my heart beats when i see you."

***

"Stop, Pak. Di sini aja."

Supir taksi itu memberhentikan taksi birunya di depan sebuah rumah dengan tampilan sederhana. Rumah yang sudah menjadi tempat Aura pulang dan pergi. Rumah yang dahulu ia tempati bersama Ayah dan Ibunya, namun sekarang hanya bersama si mbok.

Tangan Aura terulur untuk memberikan selembar uang berwarna biru tua kepada supir taksi itu. "Makasih, ya Pak."

Lelaki tua itu mengangguk dan menjalankan taksinya menjauhi pelataran rumah Aura.

Aura lalu melangkah gontai menuju pagar rumah dengan wajah tertekuk. Moodnya sedang tidak bagus kali ini. Semuanya gara-gara Fathur. Lelaki itu yang sudah membuat acara makan siangnya bersama Zaro rusak.

Aura mengerutkan keningnya kala menyadari sebuah mobil putih sedang terparkir manis di halaman rumahnya. Ia seperti pernah melihat mobil itu. Tapi entahlah, Aura lupa.

"Iya, mbok. Kita baru bisa dateng sekarang. Kemarin-kemarin nggak sempet karena baru buka usaha di Bandung."

Alis Aura bertaut bingung. Tumben ada yang dateng ke rumah malem-malem. Siapa ya?

"Oalah pantes si mbok jarang lagi ngeliat di sini," seakan tersadar akan kehadiran Aura, si mbok langsung bangkit berdiri dari duduknya dan menatap Aura ramah. "Eh, si non Aura udah pulang."

Seorang lelaki berkepala tiga beserta wanita di sebelahnya yang duduk membelakangi Aura lantas menolehkan kepalanya. Seketika, rasa penasaran Aura kepada dua orang itu kini terbayar sudah.

"Om Evan? Tante Naya?"

Perempuan yang bernama Naya datang menghampiri Aura dan langsung memeluk gadis itu erat. "Udah lama kita nggak ketemu, ya, Ra. Kangen Tante."

Aura mengangguk. "Aku juga kangen. Tante kemana aja?"

Naya melepaskan pelukan mereka dan menatap Aura. "Biasalah, om kamu Ra. Lagi buka usaha barunya. Distronya dia yang ada di Bandung itu, jadinya Tante nggak sempet dateng ke sini."

Aura lantas melirik lelaki yang wajahnya sangat mirip dengan Ayahnya itu. "Om Evan makin keren aja, nih. Kapan-kapan ajak aku dong om ke Bandung, mampir ke distronya om."

"Justru om ke sini mau ngajak kamu, Ra, buat pindah ke Bandung."

Aura sontak melebarkan kedua matanya. "Maksudnya?"

"Jadi gini Ra," ucap Evan. "Sebenarnya sebelum Papa kamu meninggal, dia udah nitip pesan sama kita buat ngejagain kamu kalo dia udah nggak ada. Dia khawatir kalo kamu tinggal cuman berdua doang sama si mbok di sini. Lagian di sini sepi, Papa kamu takut kalo kamu nanti bakalan kesepian.

"Kan kalo di Bandung rame. Ada banyak sepupu kamu di sana. Lagipula, si mbok kan udah tua. Nggak mungkin kan dia bisa ngejagain kamu atau nolong kamu setiap saat, Ra? Papa kamu nggak mau kalau kamu terlantar gitu aja. Makanya dia nitipin kamu ke kita. Terus juga kalau di Bandung kan hidup kamu bakal bisa om perhatiin dengan mudah, Ra."

"Tapi aku belum siap untuk pindah, om."

"Tapi, Ra. Ini semua untuk kebaikan kamu," ucap Naya sambil mengelus rambut Aura. "Bisnis Papa kamu juga lagi terlantar kan sekarang? Nah Papa kamu udah nyuruh anak om sama tante, si Bang Rafi buat nerusin usaha Papa kamu. Usahanya udah di pindah ke Bandung. Semuanya udah dipersiapin Papa kamu dari jauh-jauh hari cuman untuk kebaikan kamu, Ra. Jadi tante pikir, kamu bakal lebih mudah tinggal di Bandung daripada di sini."

MemoriesOù les histoires vivent. Découvrez maintenant