Chapter 7

2.4K 243 51
                                    

"I wish you were here to tell me that everything is gonna be okay."

***

Aura membuka pintu ruang kerja Ayahnya yang sedikit terbuka. Ia menarik napasnya dan mengeluarkannya. Berusaha terlihat rileks dari sebelumnya. Entah kenapa, Aura rasanya sangat deg-degan berhadapan dengan Ayahnya itu.

Semoga semuanya baik-baik saja, ya Tuhan.

"Sore, Pa!" Sapa Aura dengan senyuman hangatnya.

"Sore." Ayah Aura nampak sibuk dengan sejumlah berkas-berkas yang berada di meja kerjanya, Aura sendiri tak mengerti isi dari berkas-berkas itu apa.

Aura senang, walaupun Ayahnya begitu dingin sekarang, tetapi ia masih mau membalas sapaan Aura walau singkat. Tetapi tidak apa-apa, itupun sudah cukup membuat Aura senang.

Aura berniat ingin membicarakan seputar kamera Zaro yang sudah ia rusakki itu sekarang. Maka dari itu, ia berjalan menuju sofa yang berhadapan langsung dengan meja kerja ayahnya itu.

"Papa," Aura menatap Ayahnya penuh harap. Bisakah ia memperhatikan anaknya walau hanya sebentar? "Aura mau ngomong sesuatu,"

Anto menatap Aura sekilas dan kembali terfokus pada setumpuk kertas di hadapannya. "Ngomong aja. Papa ga punya banyak waktu,"

Aduh mampus gue takut banget ini.

Setelah Aura mengumpulkan seluruh keberaniannya selama lima menit, Ia pun akhirnya angkat bicara.

"Aura..." Ucapnya sedikit ragu. "Aura Boleh minta duit ga Pa?"

Seketika, gerakan tangan Anto terhenti. Ia segera menatap wajah anak gadisnya yang sedang menunduk itu.

"Berapa?" Ucap Anto tanpa meilirik anak perempuannya itu.

"Emm..." Aura menggigit bibir bawahnya. "Tiga juta, Pa,"

"Tiga juta?!" Kata Anto. "Mau kamu apakan duit sebanyak itu, Aura? Mau belanja? Mau foya-foya sama teman-teman kamu itu?!"

"Bukan gitu, Pa. Aura ta--"

"Kamu tau gak Aura?!" Anto menatap wajah Aura dengan tajam, sampai-sampai Aura hanya mampu menunduk takut. "Kamu itu cuman anak yang bisa nyusahin orang tua doang, tau tidak?!"

Ada apa sih? Aduh, gue jadi ga enak sama tuh cewek doraemon.

Zaro yang dapat mendengar adanya keributan di ruangan yang tadi Aura masuki, hanya bisa menahan rasa penasarannya. Tidak mungkin kan ia main nyelonong masuk begitu saja?

"Udah bikin Mama meninggal, ga pernah berprestasi di sekolah, dan sekarang apa? Minta duit ga kira-kira! Papa itu nyari duit susah. Gak gampang Aura!"

Aura yang sudah tidak tahan akan perlakuan Ayahnya yang selalu menyalahi dirinya akan semua hal, berdiri dan menatap lelaki berkepala empat itu. Air matanya keluar begitu saja tanpa bisa ia tahan.

"Kenapa sih, Papa selalu nyalahin Aura? Mama meninggal Aura yang disalahin. Asal Papa tau, Aura juga gamau Mama pergi. Papa kira Aura seneng Mama gaada? iya Pa?!"

Anto diam tak menjawab ucapan anak perempuannya.

"Aura juga bukan anak yang pinter kayak yang Papa pengen. Yang selalu dapat peringkat di setiap pengambilan rapot, atau ikut olimpiade dan perlombaan-perlombaan akademik. Tapi Aura punya bakat sendiri yang lain Pa. Aura berbakat di Basket. Tim sekolah Aura juga pernah juara. Bahkan Papa selalu gak mau nonton pertandingan Aura. Aura gak marah kok Pa,"

"Dan satu lagi." Aura menepis air matanya dengan kasar. "Aura gak pernah minta duit ke Papa banyak-banyak. Aura kalo mau beli sesuatu juga pake duit sendiri. Apa pernah Aura minta duit ke Papa banyak-banyak? Enggak Pa. Ini Aura butuh banget makanya Aura minta Papa. Duit tabungan Aura udah kepake buat tanding basket kemarin di Bogor. Bahkan, waktu itu Aura gamau minta duit ke Papa karena gamau buat Papa tambah susah."

MemoriesWhere stories live. Discover now