Chapter 9

2.6K 218 33
                                    

"It doesn’t matter who hurt you, or broke you down, what matters is who made you smile again.”


***

Aura menarik napas dan menghembuskannya dengan berat. Ia tidak tahan menyimpan beban ini sendirian. Ia pikir Zaro adalah cowok yang tidak akan mungkin berani membeberkan masalahnya kepada orang lain. Maka dari itu, setelah dirasa tepat, Aura berniat ingin berbagi cerita dengan cowok itu.

"Bokap gue berubah setelah nyokap meninggal,"

Zaro menatap Aura dengan penasaran. Ia segera menajamkan indera pendengarannya itu.

"Dulu dia lembut, care banget. Bahkan dia ga tega ngebentak gue sedikitpun. Tapi sekarang dia beda. Dia galak, cuek, kasar, dan juga selalu nyalahin gue. Semua yang gue lakuin di mata dia itu salah, kak. Bahkan mama meninggal aja gue yang di salahin." Suara Aura terdengar sedikit bergetar di akhir ucapannya.

"Kalo boleh tau, nyokap lo meninggal kenapa?" Zaro menatap Aura dengan tidak yakin. Ia jadi merasa tidak enak dengan cewek itu. "Kalo ga mau cerita ga papa kok, Ra. Gue ga maksa. Gue juga bukan siapa-siapa lo kan? Lancang juga ya gue," Ucap Zaro sambil terkekeh.

"Engga. Ga papa. Lo temen gue sekarang. Gue juga mau cerita kok ke elo." Ucap Aura disambut senyuman kecil dari Zaro.

"Nyokap gue meninggal bisa dibilang karena gue, sih. Jadi waktu itu gue lagi jalan-jalan ke taman sendirian. Terus gue ngeliat ondel-ondel dan gue ngikutin itu ondel-ondel sampe keluar komplek. Nah, tiba-tiba banyak preman yang ngerumunin gue. Gue jadi ketinggalan ondel-ondelnya deh. Terus langit udah gelap. Dan tiba-tiba preman-preman itu nangkep gue secara paksa. Gue takut dan gue teriak. Seakan Tuhan tahu bahwa gue lagi ketakutan, Nyokap tiba-tiba dateng. Dia sendirian, Kak."

Satu tetes air mata meluncur bebas di wajah Aura. Air mata itu terus-menerus meluncur bebas tanpa berniat Ia tepis.

"D-Dia nyuruh gue ngumpet, sementara dia ngelawan preman itu. Gue nangis di balik pohon. Gue tahan suara gue biar ga kedengeran, karena emang mama gue ga ngebolehin gue bersuara sedikitpun. Dan ga lama, gue ngedenger suara tembakan kenceng. Dan begitu gue keluar dari persembunyian, mama gue udah tergeletak di jalanan sambil berdarah-darah."

Aura menutup kedua matanya dengan tangan. Ia tidak bisa menahan air mata yang selalu muncul jika ia teringat dengan mamanya dulu. Perempuan terhebat yang pernah Aura kenal.

"Keluarin aja, Ra. Gausah lo tahan-tahan." Ucap Zaro menenangkan. Ia belum berani bertindak untuk membuat Aura berhenti menangis. Padahal, Zaro ingin sekali memeluk cewek itu saat ini. Aura terlihat begitu rapuh sekarang. Namun, Zaro masih tahu diri.

Bahu Aura bergerak naik turun. Ia melepaskan seluruh emosinya yang bercampur menjadi satu menjadi sebuah tangisan. Kesal, marah, sedih, sesal, kecewa. Semua menjadi satu.

"Gue yang salah ya di sini, kak? Gue kan? Bener kan kata Papa kalo gue ini cuman anak yang nyusahin orang tua?" Aura menatap Zaro dengan wajah yang sudah memerah dan berlinang air mata itu.

"Ssstt," Zaro memberanikan diri dan membiarkan tangan kanannya memegang bahu Aura dan menariknya mendekat. Ia mengusap-usap bahu Aura dengan pelan. "Ini udah rencana Tuhan. Tuhan mau ngebuat lo jadi wanita kuat. Tuhan mungkin udah terlalu sayang sama mama lo? Makanya Tuhan manggil mama lo duluan?"

Aura terus saja menangis di bahu kanan Zaro. Entah kenapa, walau Zaro tidak benar-benar memeluknya, hanya merangkulnya dari samping, Aura merasa menjadi agak tenang sekarang. Sentuhan cowok itu entah kenapa terasa begitu nyaman.

"Tapi, papa selalu bilang kalo gue cewek yang nyusahin orang. Gue selalu dapet nilai pas-pasan di rapot, bikin perempuan kesayangan papa meninggal, ga pernah bantu dia, malah boros-borosan. Padahal gue aja minta duit jarang, kak."

MemoriesWhere stories live. Discover now