Chapter 05 - Rain

Start from the beginning
                                    

Bertepatan dengan layar yang meredup, Jin mendekat. Tangannya berpindah dengan cepat ke arah dahi Jungkook yang penuh dengan peluh. Ada perasaan lega ketika Jungkook merasakan sentuhan itu. Selalu.

"Ada apa?"

Jungkook masih terdiam setelah ia baru saja selesai lalu melepas mousenya. Jujur saja ia belum mengerti tentang apa yang terjadi. Apakah ia terlalu larut akan pekerjaannya? Feelnya begitu kuat saat tangannya bahkan tidak berpikir untuk berhenti.

Namun wajahnya tetap dibuatnya tenang, sekalipun napas yang terengah itu masih jelas terasa pada ujung paru-parunya.

Jungkook menuntun tangan Jin untuk turun dari dahinya, melepas kenyamanan tersebut untuk sesaat agar tidak terlalu dikhawatirkan, "Kau menggangguku, hyung."

Pria itu tersenyum lalu mengambil napas, "Ugh, aku sudah di ujung konflik padahal."

Jin berdecih lirih. Tangan yang sekalipun telah turun pun kembali diambil alih dari genggaman Jungkook. Pandangan pria yang lebih muda jelas membuatnya jengah, tersenyum lebar tanpa rasa bersalah.

Apa maksudnya itu?

"Kau selalu melewatkan jam makanmu. Kau tak akan bisa bekerja lama jika pola hidupmu seperti itu."

Jungkook mengarahkan pandangannya cepat menuju kalender kecil yang bertengger di samping kanan mejanya. Kalender itu belum tersobek sejak empat hari yang lalu, atau lima? Bahkan Jungkook lupa tanggal berapa hari ini.

Begitupula dengan Jungkook yang mungkin bisa menghitung piring yang ia gunakan, atau ia lupa dan meluputkannya? Oh, entahlah. Jungkook hanya bisa menggaruk tengkuknya ragu, seolah tubuhnya berada di dimensi yang berbeda. Ia seolah melewatkan kehidupan nyatanya.

Yang jelas sekarang dirinya patut bersyukur. Ini yang membuatnya nyaman akan keberadaan kakak sepupu yang bersedia menjaganya tersebut selagi orang tuanya yang bekerja keras. Terima kasih untuknya yang bahwasannya terus menjaganya dengan rentetan kekhawatirannya itu.

"Maafkan aku. Kakiku seolah kaku karena tangan yang bergerak seiring ide mengalir di otak." desis Jungkook tak berani meninggikan nadanya, "Tapi sungguh, aku sudah mengerjakan banyak kali ini."

Jin nampak menggeleng. Membuat Jungkook harus menahan sedikit kekesalannya karena ia tak dapat membuat Jin puas hanya karna alasannya. Memangnya siapa yang akan puas akan sebuah alasan?

"Sekarang, makan." perintah Seokjin dengan tegas. Tangannya ditepuk pelan pada punggung yang lebih sempit dari miliknya itu, layaknya memburu pria itu dalam waktu.

Jelas, Jungkook sudah terlalu sering melewatkan jam makannya. Ia perlu memaksanya kali ini, berhubung komputer dengan tahu dirinya sudah ia matikan sendiri.

Jungkook menghela, mendesah kesal entah pada siapa. Jika memang ia selalu berusaha menghargai Jin, berarti ia kesal pada dirinya sendiri. Mengapa? Entahlah. Jungkook hanya merasa teledor karena membuat Jin sampai mendobrak kamarnya begitu saja.

"Baiklah..." Jungkook menunduk pasrah. Ada hal yang membuatnya merasa lemas seketika. Merasa bersalah atau apalah. Yang jelas pria itu terus menundukkan kepalanya.

Jin mengambil jalan terlebih dahulu, dirinya sudah yakin Jungkook telah bangkit lalu mengikutinya. Yang akan ia lakukan adalah menyiapkan beberapa perabotan dan membiarkan Jungkook duduk dengan makanan yang sudah rapi di meja.

Sedangkan Jungkook, pria itu melangkah dengan pelan. Berat hati pria itu berjalan keluar kamar. Ada hal yang mengganggu pikirannya selain omelan Jin beberapa waktu lalu.

Jungkook mengelus tengkuknya tanpa sadar, membiarkan matanya menelisik pada setiap sudut kamar yang akan ditinggalkannya itu, lalu berakhir pada perangkat pekerjaannya. Pada perasaannya yang seolah mengatakan sesuatu.

Namun itu hanya lamunan singkat, sebelum Jungkook tiba-tiba mengatupkan matanya rapat. Sinyal otak memaksanya untuk berhenti berpikir, menimbulkan beberapa nyeri ringan yang mendadak menyerang kepalanya.

Hanya sebuah ringisan yang pria itu berikan pada sakit itu akibat rasa yang mendadak menelisik otaknya. Sayangnya gagal, ia tak dapat menahannya dan memilih untuk beralih menuju meja makan. Membiarkan pikirannya menyerah dan beristirahat untuk kali ini.

***

Jin menarik kursinya ke belakang, mendudukan tubuhnya dengan sedikit menyamankan diri. Ia sempat melempar senyum pada Jungkook yang masih terlihat malas.

"Hasil dari lima hari mengurung diri seharusnya cukup, bukan?"

"Hm... aku sudah sampai episode yang cukup."

Jin mengernyitkan dahi. Guratan yang terukir pada wajah pria itu terlihat berbeda. Bahkan langkah yang melambat serta tanpa tenaga itu membuat Jin segera berucap,

"Ada apa? Kau demam lagi?"

Jungkook menggeleng. Ia alihkan pandangannya pada luar jendela sejenak, masih lumayan terang di luar sana.

"Ada yang salah?" Jin kembali bertanya, menghentikan tangannya yang tengah mengambil beberapa sendok makanan.

Sekalipun pria itu sudah membuang jauh pikirannya, ia telah membuat kenyamanannya sendiri, tetapi pening itu tetap saja membuatnya ragu.

Kepalanya terasa sedikit berat. Mungkinkah karena dirinya yang terlalu sering menatap layar?

"Jangan diam, kook."

"Apa masih ada kopi di dalam laci?"

"He?" Jin sempat memiringkan kepalanya bingung. "Sepertinya kau menghabiskan itu semalam?"

"Ah, benarkah?"

"Kenapa?"

"Bukannya aku harus membelinya lagi?"

Sepertinya Jungkook hanya sedang merindukan sesuatu.

Entahlah.

***

To be continue

Cerita ini berjalan dengan sangat cepat, bung.

Aku baru saja selesai untuk chapter 9. Dan aku rasa di sana aku sudah menunjukkan banyak hal.

Ga ada tebakan gitu? Soal cerita ini? Aku pikir sudah terlalu jelas.

Karena kalo aku boleh curhat, di ff sebelumnya itu aku banyak memberi clue. Implisit sih. Jadi mungkin bagi yg baca masi rada blur dan menganggap itu narasi biasa. Hehe.

Ntr belajar ngetik detektip detektipan deh.

Bubay

Iyus (kimgysm_)

Erstwhile - HujanWhere stories live. Discover now