Chapter 03 - Rain

Magsimula sa umpisa
                                    

Namun saat tubuhnya berbalik ingin kembali ke tempatnya semula, Jungkook mencegahnya.

"Aku akan membayar ini di kasir—" Jungkook berucap dengan pandangan yang bukan menatap objeknya.

"—untuk gadis itu, biarkan aku yang membantunya."

***

"Permisi—"

"Ya, Nona, apalagi yang kau butuhkan?"

Sudah sejak tiga hari lamanya, reaksi yang ditunjukan gadis itu tetap sama. Ia nampak kaget dengan mata yang melebar, setelah itu dirinya menelaah dengan tubuh yang bergerak kecil.

Gadis itu menengok sekalipun ia tahu hanya gelap di mana-mana. Tapi Jungkook akui gadis itu memiliki instuisi yang kuat.

Jungkook tahu gadis itu merasakan sebuah perbedaan.

"Apa—"

Jungkook berusaha mengambil alih tas yang sedang berada di genggaman gadis itu, tidak diduga, yang didapatnya adalah genggaman ragu pada sebelah tangannya.

Gadis itu mencegah Jungkook untuk mengambil tasnya.

Dan bodohnya Jungkook tahu tindakannya hampir mirip seperti seorang penipu.

"Aku akan membantumu, Nona. Biarkan aku membawakannya untukmu." Jungkook berucap halus, berusaha meyakinkan bahwa dirinya tidaklah sama dengan seorang penipu di luar sana.

Gadis itu tertegun dalam pandangan kosongnya.

"Kau..."

Binggo. Jungkook tersenyum hanya karna satu kata.

Sepertinya gadis itu tidak melupakan suaranya. Fakta itu yang membuatnya menampilkan senyumnya sekarang.

Ia cukup kaget bisa bertemu dengan gadis ini untuk kedua kalinya. Kebetulan yang sangat seperti kebetulan. Entah ketertarikan macam apa yang membuatnya tiba-tiba berpikir untuk membantu gadis itu.

Menanyakan, apakah payungnya berhasil menjaganya tetap kering hingga sampai rumah? Tidak, itu hanya pikiran lelucon Jungkook.

Pria itu hanya tak menyangka merelakan tubuhnya basah demi seorang gadis seperti yang dilakukannya tiga hari lalu. Jungkook tersenyum tipis.

Tak ingin terus terlarut dalam kebingungan, Jungkook kembali melanjutkan aksinya, "Cha, biarkan aku membantumu berbelanja. Apa yang kau butuhkan?"

Gadis itu telah merelakan tasnya ditenteng oleh Jungkook, namun bibirnya belum sama sekali terbuka untuk memberi tahu apa saja yang dibutuhkannya.

Gadis itu kemudian tersenyum tipis, "Kau bekerja di sini?"

Uhuk.

Jungkook ingin terbatuk sekali lagi, tapi tentu saja ia menahannya. Ia hanya tak menduga, bagaimana bisa gadis itu terdiam lama hanya untuk menebak pekerjaannya.

Tentu saja hal itu mendapat gelengan mutlak dari Jungkook. Selepasnya pria itu hanya tertawa, "Anggap saja seperti itu. Bisa sebutkan kebutuhanmu?"

"Terima kasih sebelumnya." Gadis itu melebarkan senyumnya barang sedetik.

"Aku membutuhkan..."

***

Jungkook mengamati sepatunya yang nampak kotor. Ia baru ingat, selepas hujan tiga hari yang lalu, pria itu hanya membiarkan sepatunya mengering tanpa dicuci.

Ia mendesah kecewa, namun kekecewaan itu tak berarti dengan sikapnya yang malas. Jungkook akui itu, setidaknya hal itu bisa membuatnya tak terlalu kecewa.

Berbeda dengan penampilan sepatunya, gadis itu justru memakai sepatu dengan tampilan cerah. Ia tak yakin apa sepatu itu yang digunakannya waktu itu.

Toh apa urusannya dengan sepatu.

Jungkook kembali mengangkat wajahnya ke atas, memerhatikan hasil pekerjaannya dengan sekeranjang bahan makanan.

Pria itu telah melaksanakan tugasnya, dan tugas tambahannya sekarang adalah mengantar gadis itu.

Jangan tanyakan Jungkook, karena ia pun tak tahu sampai mana dirinya akan mengantar gadis itu pulang.

Hingga gadis itu ikut merasakan sebuah keganjilan. Jungkook berpikir bahwa mereka memikirkan hal yang sama.

"Apa kau akan terus mengantarku, Tuan?"

Jungkook menghentikan langkahnya begitu dirasa gadis itu juga berhenti. Sejenak ia menatap raut bingung pada wajah gadis itu lalu Jungkook hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tak gatal, "Entahlah, Nona." jawab Jungkook seadanya.

Pria itu sempat mendesis mengetahui embelan panggilan masing-masing. Di umur yang tidak terlalu tua bagi keduanya, ia merasa kuno hanya karena panggilan Tuan-Nona tersebut.

"Bukannya kau harus kembali bekerja?" kali ini gadis itu berusaha menghadapkan tubuhnya ke arah Jungkook. Bahasanya sudah berganti dengan kalimat formal biasa.

"Ah..." Jungkook tertawa, "Kau tidak menganggapku bekerja di sana sungguhan, bukan?"

Gadis itu memasang wajah terkejut, hanya sebentar sebelum dirinya ikut tertawa.

"Hampir aku menganggapnya sungguhan."

"Tidak, aku hanya bercanda."

Keduanya hanyut dalam tawa. Jungkook ikut menyelipkan senyum dalam tawa renyahnya, tawa yang perlahan menipis, menyisakan kecanggungan setelahnya.

Sial.

Jungkook yang sangat menikmati bagaimana ia bisa tertawa berdua tadi hanya bisa kembali menggaruk tengkuknya. Tentu saja ia tak bisa bertahan dalam suasana seperti ini.

"Em, kau ingin pulang?"

Tentu saja, bodoh. Jungkook menyaut dalam hati. Pertanyaan macam apa itu. Hanya saja Jungkook tak dapat menahan kegugupan yang mendadak menjalar menyebar ke seluruh tubuhnya.

"Ya, apa kau tidak?"

"Tentu saja aku juga." balas Jungkook terkekeh paksa.

Ada hal lain yang mengganjal di tenggorokannya. Jungkook yakin itu terlalu konyol untuk saat ini, hingga ia memutuskan untuk menahannya.

Terlalu dini untuk menawarkan diri mengantar gadis itu pulang, bukan?

"Baiklah, kalau begitu aku duluan." gadis itu berucap terlebih dahulu. Jungkook yang masih tak dapat membendung kegugupannya hanya bisa mengangguk.

"Ah, kalau begitu, sampai jumpa!"

Dengan senyuman yang ternyata Jungkook rindukan, gadis itu mengakhiri pertemuan mereka. Langkah pelan itu seolah terbiasa dengan jalanan di bantu dengan tongkatnya.

Gadis itu adalah gadis yang mandiri, simpul Jungkook dalam hati.

Dan apa yang terjadi? Mengapa suhu tubuhnya mendadak kembali naik hanya karena menatap tubuh gadis itu pergi?

Jungkook yakin dirinya sudah gila. Tapi perasaan apa lagi ini?

***

Erstwhile - HujanTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon