23. Meet the Parent

22.1K 1.5K 82
                                    

Emily memejamkan matanya dengan nyaman saat kepalanya diusap terlalu lembut oleh Teddy. Lelaki itu masih menyeka rambut cokelat Emily yang basah karena dia malas mengeringkannya setelah mandi.

Felicia dan Aldrich sudah meninggalkan mereka masuk ke kamar untuk membiarkan kedua tamunya yang memutuskan untuk tidur di ruang tamu untuk beristirahat, karena waktu ternyata sudah hampir pukul dua pagi.

Emily hampir saja terlelap dalam posisi duduknya kalau Teddy tidak menghentikan gerakannya dan menurunkan handuk dari rambut Emily. Lelaki itu kini menyisirkan dan merapikan rambut Emily yang menutupi wajah gadis itu menggunakan jari-jarinya.

Emily memandangnya sambil tersenyum dengan wajah polos tidak berdosa yang membuat Teddy gemas. Entah gadis itu tidak bisa merasa takut atau tidak merasa bersalah atas apa yang baru beberapa jam lalu terjadi padanya. Teddy bahkan tidak tahu apa dia harus memeluk, mencium atau memarahi gadis itu dulu sekarang.

"Kamu nggak takut sama sekali kah?" tanya Teddy berwajah serius dengan nada khawatir yang membuat Emily menunduk dan berhenti tersenyum.

"Kenapa ekspresi kamu begitu, Ems?" tanya Teddy lagi.

"I think I've been scolded," jawab Emily dalam gumamannya.

"God, why should I scolded you!?" tanya Teddy hampir kepada dirinya sendiri, "Aku khawatir sama kamu, Emily. Kamu pergi ninggalin aku cuma memberikan pesan dengan kertas, dan aku harus menemukan kamu hampir diperkosa kakak kamu. Seenggaknya kalau kamu mau mencampakkan aku, kamu musti bertunangan dengan laki-laki mapan dan bahagia, Ems. Bukannya kembali jadi korban kakak sinting kamu itu."

"Sorry?" kata Emily lagi dengan nada pelan.

"Kenapa kamu harus minta maaf sama aku?" tanya Teddy lagi kini dengan depresi. Dia menurunkan nadanya yang tanpa disadarinya meninggi sebelum melanjutkan, "Jangan kembali ke rumah itu lagi. Aku nggak akan bisa biarin kamu tinggal sama keluarga kamu yang mengerikan itu."

Emily terdiam. Dia kelihatan mempertimbangkan nasihat dari Teddy barusan.

"Apa yang kamu pikirin? Kamu nggak takut apa yang akan lelaki sinting itu lakukan lagi ke kamu kalau kamu kembali ke sana?" kata Teddy tidak habis pikir, "Kalaupun kamu nggak takut, aku yang takut, Ems."

"Aku cuma lagi memikirkan aku tinggal di mana kalau bukan di sana. Aku nggak mungkin tinggal di apartemenku yang di US lagi, karena Papaku pasti tahu kalau aku tinggal di sana. Dan aku nggak punya uang untuk beli tiket pesawat ke sana."

"I meant it when I said to you to live with me in Indonesia, if you remember." kata Teddy, "Aku belum punya rencana apapun dan aku juga belum tahu apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Tapi kalau kamu bersedia, besok kita ketemu Papa Mamaku. Untuk sementara ini kita tinggal di rumahku. Kebetulan kita juga lagi liburan semester. Kita bisa diskusi sama mereka untuk membicarakan masa depan kita."

Emily memandang penuh harap kepada lelaki di hadapannya, "Mama Papa kamu mau terima aku?"

Teddy membasahi bibirnya dengan gelisah. Dia tidak ingin memberikan harapan lebih kepada Emily, karenanya dia merasa harus jujur, "Aku nggak tahu, Ems. Sejujurnya mereka belum tahu tentang kamu sama sekali. Jadi mereka pasti akan kaget saat ketemu kamu besok. Yang penting kita memberi pengertian dan penjelasan kepada mereka. Aku yakin mereka pasti bisa mengerti kondisi kamu."

Emily kelihatan ragu. Bukannya dia tidak yakin akan kedua orang tua Teddy. Dia hanya merasa akan sangat melelahkan menjelaskan kepada orang asing mengenai keadaannya. Segala sesuatunya selalu terasa sulit baginya jika berhubungan dengan masa lalunya, termasuk untuk menjelaskan.

"Aku nggak akan ninggalin kamu," janji Teddy sambil mengusap pipi Emily, "I'm on your side, always."

Setidaknya kalimat Teddy barusan membuat Emily menjadi sedikit lebih lega. Emily tersenyum sebelum menjatuhkan tubuhnya untuk memeluk Teddy. Dia ingin merasa tenang dan nyaman untuk sementara.

Emily's LoverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang