4. Goddamn Virgin

39.2K 2.3K 69
                                    

"Teddy! Your girl's coming!"

Seorang lelaki berteriak dengan suara lantang dari arah luar dapur.

Teddy tahu siapa yang dimaksud.

"His Ems." Kata suara yang Teddy tahu dimaksud oleh lelaki barusan, dengan nada pelan yang mengoreksi dan menuntut.

"Your Ems is coming!" Ulang suara lelaki tadi mengoreksi dengan terpaksa, masih sama lantangnya.

"Okay, five minutes." Jawab Teddy singkat sambil tersenyum. Emilynya pasti berbuat jahil lagi.

Dia masih punya empat wortel lagi untuk diirisnya sebelum waktu kerjanya selesai hari ini, dan karena Emily tiba lebih cepat dia harus menyelesaikannya dalam lima menit.

"You don't have to, Ted. Jesse, take over Ted's job! We cannot let this young girl here longer than right now!" Lelaki itu kembali berbicara dengan lantang.

Teddy akhirnya melepaskan apron yang digunakannya sambil melempar senyum bersalah ke Jesse, rekan kerjanya yang disebutkan barusan.

"Sorry, Jess," Teddy mencuci tangannya.

Jesse, si gadis berambut pirang dan bermata hijau yang hanya beberapa tahun lebih tua dari Teddy hanya meringis memamerkan giginya. Kejadian seperti ini sudah biasa, dan dia memang memilih menggantikan Teddy daripada mendengarkan bos mereka yang meradang setiap kali gadis di depan mengunjungi Teddy.

Teddy keluar dari dapur. Menuju ke kumpulan meja-meja tempat tamu duduk dan menikmati makanan. Dia menemukan si pembuat onar. Emily berdiri tersenyum tanpa dosa berhadapan dengan Lorence, yang tadi meminta Teddy segera keluar dari dapur karena merasa terganggu. Lorence adalah lelaki berusia empat puluhan pemilik restoran italia tempat Teddy mengambil part-time.

Emily mengenakan t-shirt v-neck kebesaran favoritnya walau kali ini dipadukan dengan celana jeansnya. Rambut bergelombangnya yang bob masih sama berantakan dan senyum jahil menghiasi wajahnya yang berbintik-bintik merah. Dia memegang gelas kertas berisi kola yang dibelinya di restoran ini sambil menyeruputnya sengaja bersuara.

Teddy tahu, semakin seseorang merasa terganggu dengan keberadaannya, Emily semakin senang menggoda orang tersebut. Lorence salah satu contoh konkritnya. Emily hanya pernah sekali datang ke restoran ini dalam keadaan mabuk dan mencari Teddy. Dan sejak itu Lorence begitu anti melihatnya. Dan Emily semakin senang datang ke sana. Hanya untuk menemui Lorence dan bukan menjemput Teddy sebenarnya.

Dan setelah tahu Lorence tidak suka orang yang tidak sopan saat makan, Emily suka sengaja bersuara saat makan atau saat minum seperti barusan.

"Sorry, Lor. I'm going back first," kata Teddy meminta ijin kepada bosnya.

"Sooner the better!" Lorence bertolak pinggang masih memandang Emily sebal.

Teddy merangkul pinggang Emily. Memaksa Emily mengikutinya. Tapi Emily sengaja menahan badannya. Tangannya merogoh kantung celana jeansnya dan mengambil uang seratus dolar kemudian memasukan ke kaleng tips di meja kasir.

"For your best service," Emily memamerkan senyum jahilnya.

Dan Teddy buru-buru menariknya keluar sebelum dia yakin akan melihat wajah ungu Lorence.

Emily terkekeh puas masih menyeruput kolanya saat Teddy mengandengnya keluar restoran.

Mereka berjalan menyusuri teras menuju halte bus yang akan membawa mereka kembali ke flat Emily.

"Kenapa kamu suka ganggu Lorence seperti itu sih?" Teddy masih menggeleng-geleng heran.

"Karena dia marah kalau diganggu. Kalau dia tidak marah aku nggak akan ganggu," jawab Emily santai.

Emily's LoverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang