Bryan terdiam sesaat dengan tatapan kuat ke arah gue yang sontak membuat kepala ini tertunduk. Dada gue mendadak berdebar.

"Jangan habiskan gajimu untukku. Aku tahu kau mengalami masa sulit di sini," ucap dia sedikit mengecewakan hati gue. Padahal gue berharap kalau dia mengapresiasi usaha gue dan seenggaknya mengatakan terima kasih. Ternyata reaksi dia di luar dugaan. Tapi di sisi lain, gue merasa trenyuh dengan perkataan dia yang terdengar sangat peduli pada nasib gue.

"Lain kali tidak usah membelikan apa pun untukku. Nanti uangku menganggur kalau kau melakukannya lagi," sambung dia yang kali ini membuat kekecewaan gue berubah menjadi jengkel.

"Kalau aku terus menerima barang-barang dari penggemar, kapan uangku akan terpakai? Ayolah, aku bisa membelinya sendiri. Uangku jauh lebih banyak daripada kalian."

Songong banget anjir!

Nyaris saja gue memutar bola mata dengan malas kalau nggak mengingat bahwa dia adalah majikan gue. Sepertinya gue harus belajar untuk mencoret dia dari daftar idola gue. Masalahnya, gue sanggup nggak ya? Sepertinya sulit....

"Setelah ini kau belanja," titah Bryan.

Gue mengangguk. "Baiklah."

Bryan bangkit dari pembaringannya untuk mengambil sesuatu dari dalam dompetnya. Dua kartu disodorkan ke hadapan gue yang membuat gue bertanya-tanya.

"Pakai ini untuk belanja. Nanti aku kirim PIN-nya. Nah, yang ini cardlock apartemen. Pegang ini," ucap Bryan.

"Pegang?' tanya gue masih belum paham.

"Bawalah selama kau masih bekerja padaku. Paham?"

"Hah?"

Gue mengerjap bodoh dan spontan memandang dia dengan tatapan nggak percaya. Sepertinya Bryan sedang nggak waras sampai meminta gue untuk memegang kunci apartemennya. Tapi cowok itu terlihat nggak terlalu peduli dengan tampang bodoh gue. Dia mengambil ponselnya di atas meja. Lalu beberapa saat kemudian, ponsel gue berbunyi. Gue pun merogoh ponsel dari saku.

"Itu daftar belanjaannya," lanjut Bryan.

Gue mengangguk sambil membaca daftar belanjaan itu dengan teliti. Sampai di list yang terakhir, mata gue melotot. Muka gue mendadak merah nggak karuan. Gue sampai nggak berani menatap Bryan sekarang.

"Pemilik tokonya adalah temanku. Aku sudah bilang kalau kau akan mengambil barang itu," kata dia santai.

Gue nggak bisa menjawab. Pikiran gue udah nggak di tempat dan gue hanya bisa ternganga seperti orang dungu. Gue nggak percaya kalau Bryan memesan barang seperti itu. Apa ini sisi lain dari dia yang nggak gue tahu?

"Kenapa melamun?" tanya Bryan dengan muka polos.

"List yang terakhir ... boleh di-skip?" ucap gue pelan.

"Tidak. Semua harus kau beli. Paham?" katanya tegas.

Gue menunduk sambil mengutuk dalam hati.

"Kenapa lagi?" Bryan heran melihat gue.

Gue menggeleng pelan. Sekarang gue bingung. Iya, gue paham kalau pergi belanja itu sudah menjadi tugas gue. Tapi kalau yang harus gue beli itu adalah video film dewasa, mau taruh di mana muka gue nanti?!

"Itu hanya kaset, Aurora. Tidak usah sedih begitu," kata dia lagi yang mendadak membuat gue ingin enyah secepat mungkin. "Atau kau mau kubelikan satu?"

"Tidak! Tidak! Tidak usah. Aku tidak menonton film seperti itu," tolak gue dengan wajah merah padam.

Bryan manggut-manggut. "Lalu film seperti apa yang kau tonton? Uhm.... Fifty Shades Darker???"

Fangirl TaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang