[21] SWEET TWINS [END]

9.4K 595 62
                                    

Sengaja tidak membangunkan adiknya lebih awaL. Namun tanpa sadar waktu berlalu lebih cepat, hingga menyebabkan mereka tidak berangkat sekolah hari ini. Sasuke memandang datar pada jam weker di atas nakas. Pukul sepuluh pagi, pagar sekolah bahkan sudah ditutup.

"Seharusnya kau membangunkanku." Hinata mengambil duduk, menyandarkan punggung pada sandaran kasur, menguap kecil dengan mata yang tidak sepenuhnya terbuka.

"Tidak apa," kata pemuda itu. Nada suara terdengar agak lirih, ia mengumbar senyuman yang mampu membuat sang adik tersentak kecil memandang. "Aku tidak memiliki niat untuk melakukan apa pun hari ini, termasuk sekolah."

Muram durja berganti, kaki itu turun menginjak lantai. Berjalan untuk memeriksa ̶ ̶ kalau apa yang dikatakan kakaknya adalah dusta. Sebab setiap pagi, pemuda itu selalu rajin menyiapkan sarapan untuk mereka ̶ ̶ tidak pernah absen sekalipun.

"Lalu, bagaimana dengan makanan itu?" tanya Hinata. Sasuke tergelak, sudut bibirnya terangkat. "Kau tidak menjawab pertanyaanku, Kakak?"

Tangan itu bergerak memanggil, sang adik memiringkan kepala bingung. Lalu kemudian mengambil langkah untuk menghampiri. Hinata tersentak saat pipinya dibelai, menahan sakit ketika kapas yang menempel dibuka. "Lukamu belum sembuh," gumam Sasuke. Dia meletakkan kapas, mengambil gel untuk diolesi pada luka memar. "Untuk beberapa hari memarnya akan hilang, ini tidak berbahaya."

Masih bergeming memandang, saudara kembarnya tidak mengindahkan sama sekali pertanyaan yang ia berikan. Hinata tidak mengerti dengan isi kepala itu sekarang. Biasanya, begitu mudah untuk membaca situasi.

"Apa ada sesuatu yang terjadi?"

Pemuda itu bergeming, memandang sang adik. "Tidak ada," katanya. Ia beranjak, memilih keluar sembari membawa sisa kapas untuk dibuang ke tempat sampah. Hinata mengikuti dari belakang, memandang punggung di sana. Seolah-olah menunggu suatu kalimat yang mampu membuat dirinya puas mendengarkan. Sasuke acuh tak acuh.

Gadis itu mengambil duduk pada kursi, menerima satu mangkuk yang telah diisi nasi dengan kacang wijen di atasnya. Sumpit di tangan, bergerak mengambil beberapa lauk untuk dimakan. Mata tidak pernah lepas memandang pemuda itu.

Helaan napas terdengar begitu berat. Semakin lama diperhatikan oleh sang adik, membuat ia cukup risi. Sasuke berdeham, "Ada apa?"

"Kau terlihat agak berbeda ... maksudku ̶ ̶ ya, um ... bagaimana mendeskripsikan semua ini." Dia berpikir keras, meletakkan sumpit di meja hingga mengeluarkan suara. Melipat kedua tangan di depan dada, lalu melakukan kontak mata. "Apa ada sesuatu yang terjadi saat kau keluar? Aku tidak mengingat kapan kau pulang, karena aku tertidur."

Sasuke berhenti mengunyah makanan, meletakkan mangkuk dan sumpitnya di atas meja. Ekspresi itu jelas berubah ̶ ̶ datar memandang. Ia memejamkan mata sesaat. "Seseorang baru saja membuka pikiranku," desisnya. "Tanpa sadar, aku membawamu masuk ke dalam masalahku. Pasti sangat berat menghadapi hari-hari yang menyebalkan."

Mata itu berkedip, tahu bahwa ke mana arah pembicaraan ini. Ekspresi bersalah itu membuat hati merasakan demikian. "Tidak," sela Hinata. "Tolong jangan katakan seperti itu. Aku baik-baik saja, justru karena kejadian ini ... aku tahu apa yang kau rasakan. Sungguh menyebalkan menghadapi orang-orang seperti itu."

"Aku ingin kau bahagia, tetapi tanpa sadar aku membuat batasan bagimu untuk mengambil langkah. Selama ini egoku begitu tinggi. Apa pun yang dikatakan orang lain, tidak pernah aku dengarkan dengan baik. Seharusnya aku bertanya padamu atau meminta saran."

Bohong kalau dia tidak pernah merasakan demikian. Sesungguhnya ia merasa nyaman saat kakaknya bersikap posesif guna melindungi. Ia terhibur dengan ekspresi kesal setiap orang yang menganggunya, senang melihat kakaknya menghardik ketika ia melakukan kesalahan.

Sweet TwinsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang