[18] SWEET TWINS

6.8K 594 47
                                    

Sebelum membuka pintu apartemen, Hinata melirik dari ujung matanya. Muram durja tidak pernah lepas memandang. Sudah jelas ada sesuatu yang menganggu pikiran saudara kembarnya itu. Enggan bertanya, tetapi bergeming membuat diri begitu penasaran. Ia menghela napas, menarik kembali kunci, lalu memasang ekspresi serius ke arah kakaknya.

"Apa terjadi sesuatu?" Sasuke tersentak, mengedipkan mata beberapa kali hingga berakhir menggaruk kepalanya. "Kau tahu, kalau kau tidak bisa bohong saat aku berada di sekitarmu."

Pemuda itu bergeming, mereka sama-sama melempar pandangan. Hinata begitu antusias untuk mendengar jawaban saudara kembarnya, tetapi yang ia dapatkan hanya usapan lembut pada kepalanya. "Itu tidak adil!" dia menggembungkan pipi gemas, "jangan berpikir kau bisa membayarnya dengan perlakuan ini."

Tetapi Sasuke tidak mengindahkan. Memilih merebut kunci dari adiknya, lalu membuka pintu. Hinata terus mengomel mengikuti dirinya sampai ke kamar. "Tidak ada sesuatu yang penting. Mungkin, karena aku baru keluar dari rumah sakit, kepalaku masih sedikit pusing." kata pemuda itu. Pula Hinata tidak bisa menghardik atau pun marah, jika sudah mendapatkan penjelasan seperti ini.

Gadis itu tersentak kecil, "Oh ... begitu." merasa bersalah kemudian. Lalu memilih keluar kamar kakaknya, menutup pintu dengan pelan agar pemuda itu dapat beristirahat dengan tenang.

Dia memandang pintu yang baru saja ditutup oleh adiknya. Tersentak saat pintu itu kembali dibuka, hingga membuat Sasuke mengambil duduk tegak. Namun orang yang membuka pintu tersebut bukanlah adiknya, melainkan Sakura.

"Kau, sejak kapan!" pemuda itu memberikan tatapan peringatan. Refleks berdiri untuk mengusir gadis itu keluar kamarnya. "Aku tidak memberimu izin untuk memasuki kamarku."

"Hei, tunggu!" Sakura menahan pintu dengan kuat sebelum ditutup kembali. Beruntung dia bisa mengimbangi tenaga itu. "Ada hal yang ingin aku katakan padamu, ini penting!"

Hinata memandang interaksi dua orang di sana. Lalu memilih memasang apron, mengambil mangkuk yang telah diisi oleh tepung dan telur. Dia harus pura-pura sibuk, padahal berdalih agar bisa melihat dua orang di sana.

Setelah melihat Sasuke agak tenang. Ia memilih mengambil napas sejenak sebelum menjelaskan. "Beberapa hari lalu ada seseorang yang memaksaku untuk pergi berkencan. Aku sudah menolaknya tetapi ia tetap bersikeras. Hingga aku," gugup menyelimuti, memandang dengan wajah tengah merona pada pemuda itu. "Karena aku kesal, jadi aku mengirim fotomu dan mengaku kalau kau adalah kekasihku."

Sasuke tersentak, memandang ponsel di tangan gadis itu. Mereka bahkan tidak pernah berfoto bersama. Lalu, dari mana gadis itu mendapatkannya. "Hei, kau benar-benar penguntit ya?" gadis itu menunduk takut, memainkan ujung rambutnya. "Benar-benar gila! Membawaku untuk ikut masuk ke dalam masalahmu."

"Maafkan aku!" Sakura membungkuk takut, lalu mendongak. "Tidak ada pilihan lain! Aku benar-benar frustrasi karena hampir setiap hari mendapatkan pesan. Lalu, hari ini kami memiliki janji untuk bertemu, dan aku ingin memberitahu padanya kalau kau adalah kekasihku. Hanya ini satu-satunya cara, tolong bantu aku!" dia menyatukan kedua tangannya, berharap permintaan itu dapat dipenuhi.

Sakura tahu bahwa ini tidaklah sopan, dia sudah dua kali salah pada pemuda itu. Pertama: memotret tanpa izin. Kedua: memasukkan pemuda itu ke dalam masalahnya. Tentu saja, tidak heran kalau pemuda itu benar-benar kesal.

Selagi gadis itu memejamkan mata ̶ ̶ berharap menunggu balasan darinya. Matanya tanpa sengaja memandang ke arah sang adik tengah memasang wajah memelas. Ini lebih gawat, apa pun itu dia tidak bisa menolak jika adiknya memasang ekspresi demikian. Ia memandang bergantian, semua ini membuat kepalanya pusing.

Pemuda itu berdeham, melipat kedua tangannya. "Baik, baik ... aku akan membantumu."

Kedua gadis itu tersenyum semringah memandang. Dahi Sasuke mengernyit, merasa risi karena terlalu banyak bunga-bunga bermekaran di mana-mana.

Sweet TwinsWhere stories live. Discover now