[5] SWEET TWINS

8.4K 791 33
                                    

Setelah menekan beberapa digit angka, ia segera masuk ke dalam apartemen. Hal yang pertama dilihat oleh Sasuke adalah sebuah cahaya dan suara berisik yang dihasilkan melalui televisi. Ia segera bergegas untuk memeriksa, sesuai dengan dugaan kalau adiknya itu tengah tertidur tanpa mematikan televisi.

Pemuda itu menghela napas, "Sudah aku katakan untuk tidak menungguku pulang." gumamnya. Berharap suara itu tidak mengusik Hinata yang sedang tertidur pulas.

Hinata membuka kelopak matanya, cahaya di ruangan tidak terlalu terang sehingga ia dapat melihat dengan jelas. "Maafkan aku," gumamnya, namun masih terdengar oleh Sasuke. "Aku tidak akan bisa tidur nyenyak jika kau tidak ada di rumah."

Sasuke tersenyum, meskipun dia sesungguhnya ingin marah. Berulang kali dia memperingati namun ia selalu mendapatkan hal serupa seperti ini. Adiknya itu sangat sulit mengindahkan permintaan sederhana. Ponsel bergetar mengalihkan perhatian merekan. Notifikasi pada ponsel memperlihatkan isi pesan. Pemberitahuan tentang nominal angka yang baru masuk melalui buku tabungan.

Tetapi Sasuke memilih untuk tidak mengindahkan. Hinata menatap datar sang kakak, seolah-olah meminta penjelasan. Tetapi, karena mereka saudara kembar, cukup mudah baginya untuk membaca pergerakan di depan mata. "Kau tidak ingin membuka isi pesan itu, Kakak?" alih-alih hal itu berhasil, tapi yang ia dapatkan hanya usapan lembut tepat di kepala.

"Apa ada luka atau bintik-bintik lagi di tanganmu?"

Terlihat jelas kalau saudaranya kembarnya itu menghindar. Hinata tidak ingin berdebat di jam seperti ini. Pada akhirnya dia hanya bisa mengikuti alur kakaknya. "Tidak ada lagi bintik merah, sepertinya salep itu benar-benar cocok di kulitku."

Sasuke meneliti tangan adiknya, sedangkan gadis itu memilih mengamati. "Apa kau tidak pernah berpikir untuk mencari kekasih?"

"Apa?"

Mereka berdua melempar pandangan, ini tidak ada gunanya jika mereka berdiam diri. Seperti sedang membaca pikiran masing-masing. Mereka kembar, dan itu sangat mudah. Karena selama sembilan bulan mereka berada di rahim yang sama. "Tidak ada," katanya. "Istirahatlah, karena Kakak akan bersekolah besok."

◊◊◊◊

Tepat setelah bel istirahat berbunyi, kantin yang awalnya sepi kini terlihat begitu ramai. Bahkan beberapa pelajar rela berdesakan demi mengambil makanan mereka. Naruto tidak tahan jika harus berlama-lama di sana. Terkadang setelah keluar dari himpitan anak-anak, seragam sekolah berubah kusut.

"Kau mau ke mana?" Kiba yang menyadari perubahan sifat si pirang, menahan untuk tetap berada di kantin. Tetapi yang ia dapatkan penolakan ketus.

"Lebih baik aku tidur, daripada ikut mengantre."

Naruto berjalan santai sembari mengedar pandangan. Sedikit risi saat ia berpapasan dengan murid baru yang bersikap terlalu formal. Ia berhenti tepat di depan toilet perempuan yang diberi tanda kalau toilet sedang masa perbaikan.

Cukup lama ia mengamati papan tulisan di depan pintu toilet, mengedar pandangan sekitar seperti ada sesuatu yang mencurigakan. Sekolah mereka dapat dikatakan elite, dan tidak mungkin pihak sekolah membiarkan toilet rusak begitu saja. Ia ingin mengambil langkah pergi, tetapi menahan diri saat telinga menangkap suara berisik dari dalam pintu.

Memilih mendobrak pintu dengan punggungnya, Naruto meringis sakit ketika pintu begitu mudah dibuka. "Sial, apa mereka sedang mempermainkanku?" menahan sakit, lalu mengambil sikap berdiri. Kedua bola matanya membola sempurna, muram durja berganti, memberi tatapan peringatan kemudian.

Sekarang dia mengerti kenapa toilet perempuan mendadak rusak, ternyata ini ulah para pelajar untuk merundung salah satu siswi. "Oh," beberapa gadis itu tersentak. "Aku beri kalian pilihan," katanya. "Pergi sekarang atau kami pertugas siswa akan turun tangan langsung."

Sweet TwinsWhere stories live. Discover now