[9] SWEET TWINS

7.6K 776 44
                                    

Agak canggung memang, Sasuke paham apa yang dirasakan di sana. Perasaan gundah akan kerinduan merupakan hal yang menyesakkan. Ada waktu tertentu saudara kembarnya itu menyendiri hanya untuk mengingat almarhum ibu mereka.

Meskipun tidak bisa merasakan kehangatan, kelahiran mereka ke dunia merupakan embusan napas terakhir bagi Mikoto. Ayah meninggal karena kecelakaan, tetapi paman mereka mengatakan kalau pria itu merasa depresi akibat kehilangan ibu mereka.

"Hei," tangan itu berhenti, Sasuke menarik kembali tangannya untuk tidak menyentuh rambut panjang di sana. "Aku akan kembali, sepertinya kau membutuhkan waktu."

"Tidak," sela Hinata, menunjukkan wajah sembap, pula menahan tangis. Namun gagal, sehingga air mata itu meleset kembali. "Maafkan aku karena membuatmu khawatir."

Tengah gundah menyelimuti, muram durja berganti, pemuda itu mengalihkan muka kemudian. Mencari cara agar situasi ini tidak sedikit canggung, bohong dia tidak pernah berada di posisi saudara kembarnya itu. Tetapi Sasuke pandai menutupi perasaan ̶ ̶ tentu takut menunjukkan sisi lemah itu pada sang adik.

"Ini hari minggu, bagaimana kalau kita berbelanja? Kau bisa mengambil banyak camilan yang kau mau,"

"Sungguh?" kalimat yang bagus untuk mencairkan suasana itu, Sasuke tersenyum simpul saat Hinata berusaha menunjukkan wajah semringah. "Apa ada kenaikan gaji?"

Pemuda itu mengedikkan bahu, "Bisa dikatakan seperti itu," katanya. "Sudah lama kita tidak menghabiskan waktu bersama, bukan? Tidak ada yang salah sekali-sekali untuk menghamburkan uang."

Suara tawa menggema, padahal kakaknya selalu mengingatkan tentang menyisikan uang saku sebaik mungkin. Tetapi hari sepertinya memiliki pikiran lain, "Kau tidak konsisten," kata Hinata. "Aku tahu kau berusaha untuk menghiburku, aku baik-baik saja ... jangan khawatirkan apa pun." dia mengusap air di sudut mata.

Pandangan itu berubah menatap teduh, ekspresi itu terlihat jelas ditunjukkan. "Hei?" Hinata menarik kaus putih di sana. "Apa kau tersinggung dengan ucapanku, Kakak?"

"Tidak, mungkin sedikit?"

"Lucu sekali," dengan cepat ia meloncat dan memeluk pemuda itu sampai terjatuh ke lantai. Sasuke menahan sakit pada bagian punggung, bukan karena berat badan adiknya, tetapi tenaga yang membuat ia terdorong begitu kuat. "Mau bagaimana lagi, sepertinya kita berdua membutuhkan hiburan hari ini ... iya, 'kan?"

◊◊◊◊

Sampai di supermarket di daerah pertengahan Prefektur Miyagi, hari minggu selalu dikunjungi banyak orang. Sasuke mendesah kecewa, ini semua membuatnya sesak napas. Tidak suka saat orang-orang sibuk memandang ke arahnya. Hiruk-pikuk itu terdengar jelas mengganggu telinga.

"Sial, ini terlalu ramai."

"Santai saja," adiknya memberi semangat, lalu mengambil keranjang dorong. "Aku masuk ke dalam ini, dan Kakak mendorongnya sampai kasir, oke?"

Muram durja berganti, ini tidak adil. Tetapi saat mendengar tawa di sana, sulit sekali untuk tidak mengindahkan permintaan sederhana. "Kalau kau masuk bersamaan dengan belanjaan yang dibawa, ini akan bertambah berat."

"Tidak masalah, aku percaya kalau kau kuat."

"Terserah."

Memilih mengalah, berhenti berdebat. Kembali sibuk mengambil beberapa belanjaan dan dimasukkan dalam keranjang. Sasuke memutar bola mata, keranjang sekarang lebih banyak diisi oleh camilan manis, daripada makanan pokok. Sekarang ia menyesal karena menjanjikan hal tersebut.

Sampai di depan kasir, Hinata tenggelam oleh semua tumpukan camilan dan belanjaan pokok mereka. Ia memandang kesal ke arah kakaknya tengah menertawakan dirinya. Saat mengedar pandangan, sekarang ia sadar kalau semua arah mata tertuju ke arah mereka. Bukan dirinya, bahkan Hinata tahu pasti ke mana arah mata itu memandang. Melainkan pandangan mata berbinar itu ke arah Sasuke.

Sweet TwinsWhere stories live. Discover now