[10] SWEET TWINS

7.5K 757 25
                                    

Duduk bersimpuh, suasana canggung, pula sorot mata memandang dengan penuh peringatan, merupakan kelengkapan yang sempurna hingga seperti mencekik leher sendiri. Ini jauh lebih menyebalkan, dihadapkan dengan dua orang yang memiliki sifat berbeda.

Hinata memandang bergantian, melirik dari ujung mata. Saudara kembarnya terlihat tenang, tidak mengindahkan sama sekali. Namun, sepertinya dua orang di depan tidak memiliki pikiran serupa dengannya. Ia tersenyum tulus tetapi terlihat seperti dipaksakan ̶ mulai paham kalau kehadiran Naruto dan Sakura membuat pikiran kakaknya tidak tenang.

"Cokelat panas itu akan segera dingin kalau tidak diminum." kata gadis itu. Hinata membuka suara, sembari memasang wajah semringah.

"Terimakasih," sahut Sakura, agak canggung membalas senyuman di sana. Sulit rasanya bersikap ramah setelah mereka menginjakkan kaki di apartemen. "Kami akan meminumnya ̶ ̶"

"Oh," suara seperti lonceng dari arah dapur membuat Hinata tersentak. Ia menahan saudara kembarnya untuk berdiri. "Biar aku saja." katanya, dan itu berhasil membuat Sasuke bungkam. Tidak dapat menolak, padahal ini cara agar bisa lari dari situasi menyebalkan.

Mereka memperhatikan interaksi dua orang di depan. Naruto memilih mencicipi satu gelas cokelat panas yang sudah dihidangkan, sayang sekali jika diabaikan. Sakura hendak melakukan hal serupa, namun tersentak hingga membuat dirinya menarik tangan kembali saat pandangan mata tanpa sengaja bertemu dengan Sasuke.

"Kalau begitu kami akan segera pulang," katanya tiba-tiba, pula nada suara itu terdengar tinggi. Ia bahkan sudah berdiri dari duduknya. "Sepertinya ̶ ̶"

"Penguntit."

"Apa!"

Refleks memukul meja, kedua orang itu tidak terima. Mereka kompak memberi tatapan peringatan ̶ ̶ mencoba membela diri karena tidak terima dikatakan demikian. "Apa kalian ingin berdalih?" nada suara itu terdengar dingin, muram durja memandang. Sasuke terlihat kesal sekarang pada kedua teman-temannya ̶ ̶ selalu berusaha ingin tahu tentang hidupnya. Ini jauh lebih menyebalkan.

Selama ini ia tidak mengindahkan, jika teman-teman kelas atau anggota osis lainnya mencoba untuk bertanya. Di sekolah bisa menahan diri, karena banyak alasan untuk berdalih ̶ ̶ seperti tiba-tiba dipanggil oleh guru. Meskipun itu hal-hal yang merepotkan. Tetapi baginya, hari ini kedua temannya sudah kelewat batas.

"Apa kalian tidak bisa membuka suara?" Sasuke mamandang bergantian. "Hei, Naruto?" jelas bahwa memaksa untuk tidak membiarkan sahabatnya itu bungkam di saat seperti ini. Akan merasa bebas jika adiknya tidak ada di sekitar mereka sekarang.

"Oke," pada akhirnya memilih menyerah, Naruto menghela napas sejenak. "Aku mengaku salah," katanya. "Sungguh demi apa pun, hubungan kalian membuatku selalu pernasaran. Lalu sekarang, kalian tertangkap tinggal bersama di apartemen."

Jika seperti ini, justru Sasuke merasa tersudut. Karena tidak ada lagi alasan untuk berdalih. Janji yang dibuat dengan sang adik, sepertinya dilupakan begitu saja. Lalu, sekarang kedua teman-temannya. "Ah ... sial." gumamnya.

"Ini salahku," ia menoleh ke arah gadis musim semi. "Kami dibutakan oleh rasa ingin tahu, hingga membuatmu merasa tidak nyaman. Padahal kita teman, bekerja sama dalam osis. Sepertinya ... kami benar-benar mengganggu hidupmu, Sasuke."

Helaan napas terdengar begitu berat, ini semua semakin menambah saki di kepala perlahan-lahan hinga ke ubun-ubun. Benar. Jika diperpanjang berunjung menjadi sangat menyebalkan. "Sudahlah," katanya. "Mau bagaimanapun ... sepertinya tidak bisa disembunyikan lagi. Suatu saat pasti akan terbongkar."

"Hei," kalimat yang tidak enak ditangkap melalui telinga. Naruto mengernyit bingung, terdengar mengganjal bersamaan dengan menyebalkan. "Tunggu! Kalimat itu membuat isi kepalaku sampai berputar-putar. Jangan katakan kalau kau dan Hinata adalah sepasang suami istri?"

Sweet TwinsWhere stories live. Discover now